Kamis, 11 September 2008

Filsafat Pendidikan

Dari tulisan : dedi hendriana (dikirim Om yang Dines di Kantor Menpora itu lo)

Suatu usaha untuk mengatasi persoalan-persoalan pendidikan tanpa menggunakan kearifan (wisdom) dan kekuatan filsafat ibarat sesuatu yang sudah ditakdirkan untuk gagal. Persoalan pendidikan adalah persoalan filsafat. Pendidikan dan filsafat tidak terpisahkan karena akhir dari pendidikan adalah akhir dari filsafat, yaitu kearifan (wisdom). Dan alat dari filsafat adalah alat dari pendidikan, yaitu pencarian (inquiry), yang akan mengantar seseorang pada kearifan.

Filsafat pendidikan memang suatu disiplin yang bisa dibedakan tetapi tidak terpisah baik dari filsafat maupun juga pendidikan, ia beroleh asupan pemeliharaan dari filsafat. Ia mengambil persoalannya dari pendidikan, sedangkan metodenya dari filsafat. Berfilsafat tentang pendidikan menuntut suatu pemahaman yang tidak hanya tentang pendidikan dan persoalan-persoalannya, tetapi juga tentang filsafat itu sendiri. Filsafat pendidikan tidak lebih dan tidak kurang dari suatu disiplin unik sebagaimana halnya filsafat sains atau sains yang disebut mikrobiologi.

Filsafat secara ringkas berkenaan dengan pertanyaan seputar analisis konsep dan dasar-dasar pengetahuan, kepercayaan, tindakan, dan kegiatan. Jadi dalam filsafat terkandung pengertian dua hal, yaitu (1) analisis konsep, dan (2) pendalaman makna atau dasar dari pengetahuan dan sejenisnya. Dengan menganalisis suatu konsep, hakikat makna suatu kata dieksplorasi baik secara tekstual dengan padanannya maupun juga secara kontekstual dalam penggunaannya. Sehingga akan terkuak dimensi-dimensi moral yang khas dalam pemakaiannya, yang membedakannya dari kata yang lainnya. Jadi, memasukkan makna suatu kata sebagai konsep yang khas dalam kesadaran sehingga memiliki asumís-asumsi moral guna membantunya lebih cermat dalam fungsionalisasinya.

Analisis konseptual akan mengantar kita pada setidaknya 2 hal penting: (1) memungkinkan kita melihat secara lebih jernih bagaimana suatu konsep terkait tidak saja dengan konsep-konsep lainnya tetapi juga dengan bentuk-bentuk kehidupan sosial yang berada pada jaringan asumsi-asumsi yang saling bertautan seperti tanggung jawab manusia, hak-hak yang terkait dengan kewenangan, dan peran penderitaan dalam kehidupan kita. Hal tersebut akan mengantar kita pada pemahaman yang lebih baik tentang kehidupan sosial kita. (2) dengan memahami struktur konseptual tertentu, akan memungkinkan kita untuk bisa mencermati asumsi-asumsi moral terkait isu yang ada. Diskusi tentang ini akan mengantar kita lebih jauh pada filsafat moral.

Terdapat tiga persoalan umum yang disebut filsafat.

(1) Metafisika (Metaphysics)

Istilah lebih generik adalah “ontology” yang berkenaan dengan hakikat realitas (what is), sedangkan metafisika berkenaan dengan hakikat eksistensi (what it means “to be”). Pada konteks ini keduanya dipakai saling menggantikan (interchangeably).

Metafisika bisa diartikan sebagai the theory of reality. Suatu upaya filosofis untuk memahami karakteristik mendasar atau esensial dari alam semesta dalam suatu simpul yang sederhana namun serba mencakup.

Secara sederhana, metafisikawan berusaha menjelaskan rangkuman dan intisari dari apa (of what is), apa yang ada (of what exists), dan apa yang sejati ada (of what is ultimately real). Intisari atau substansi realitas ini secara kualitatif maupun kuantitatif bisa jadi satu atau banyak. Mereka yang beraliran kuantitatif (yakni hakikat sebagai rangkuman realitas atau as the sum of reality) terbagi kedalam tiga posisi pandang: (1) monisme, (2) dualisme, dan (3) pluralisme. Sedangkan yang beraliran kualitatif (yakni hakikat sebagai intisari dari realitas atau as the substance of reality) terbagi kedalam 4 posisi pandang: (1) idealisme, bahwa hakikat realitas bersifat mental atau spiritual; (2) realisme, bahwa hakikat realitas bersifat material atau fisis. Dua aliran tersebut termasuk kategori monisme. (3) Thomisme yang mengkombinasikan dua corak aliran monisme sebelumnya. (4) Pragmatisme, yang menolak untuk mengkuantifikasi atau mengkualifikasikan realitas. Mereka lebih suka mengatakan bahwa realitas senantiasa berada pada keadaan berubah dan mencipta secara konstan sekalipun secara literal bisa dinyatakan ada ketidakterbatasan filosofis baik jenis maupun jumlahnya.

(2) Aksiologi (Axiology)

Secara historis, istilah yang lebih umum dipakai adalah etika (ethics) atau moral (morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought / should). Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.

Terdapat dua kategori dasar aksiologis; (1) objectivism dan (2) subjectivism. Keduanya beranjak dari pertanyaan yang sama: apakah nilai itu bersifat bergantung atau tidak bergantung pada manusia (dependent upon or independent of mankind)? Dari sini muncul empat pendekatan etika, dua yang pertama beraliran obyektivis, sedangkan dua berikutnya beraliran subyektivis.

Pertama, teori nilai intuitif (the initiative theory of value). Teori ini berpandangan bahwa sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang bersifat ultim atau absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang ultim atau absolut itu eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan melalui intuisi karena ada tata moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan antarobyek, dan validitas dari nilai obyektif ini tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi-preskripsi moralnya.

Kedua, teori nilai rasional (the rational theory of value). Bagi mereka janganlah percaya pada nilai yang bersifat obyektif dan murni independen dari manusia. Nilai tersebut ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia dan pewahyuan supranatural. Fakta bahwa seseorang melakukan sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan nalarnya bahwa itu benar, sebagaimana fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalai yang melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi dengan nalar atau peran Tuhan, seseorang menemukan nilai ultim, obyektif, absolut yang seharusnya mengarahkan perilakunya.

Ketiga, teori nilai alamiah (the naturalistik theory of value). Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang dialaminya. Nilai adalah produk biososial, artefak manusia, yang diciptakan, dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai tidak absolut atau ma’sum (infallible) tetapi bersifat relatif dan kontingen. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi (kebutuhan/keinginan) manusia.

Keempat, teori nilai emotif (the emotive theory of value). Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan faktual tetapi hanya merupakan ekspresi emosi-emosi atau tingkah laku (attitude). Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverifikasi, sekalipun diakui bahwa penilaian (valuing) menjadi bagian penting dari tindakan manusia. Bagi mereka, drama kemanusiaan adalah sebuah axiological tragicomedy.

(3) Epistemologi (Epistemology)

Disebut the theory of knowledge atau teori pengetahuan. Ia berusaha mengidentifikasi dasar dan hakikat kebenaran dan pengetahuan, dan mungkin inilah bagian paling penting dari filsafat untuk para pendidik. Pertanyaan khas epistemologi adalah bagaimana kamu mengetahui (how do you know?). Pertanyaan ini tidak hanya menanyakan tentang apa (what) yang kita tahu (the products) tetapi juga tentang bagaimana (how) kita sampai mengetahuinya (the process). Para epistemolog adalah para pencari yang sangat ulet. Mereka ingin mengetahui apa yang diketahui (what is known), kapan itu diketahui (when is it known), siapa yang tahu atau dapat mengetahuinya (who knows or can know), dan yang terpenting, bagaimana kita tahu (how we know). Mereka adalah para pengawas dari keluasan ranah kognitif manusia.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut didahului dengan pertanyaan dapatkah kita mengetahui (can we know?). Di sini terdapat tiga posisi epistemologis:

Pertama, dogmatism. Aliran ini menjawab: ya, tentu saja kita dapat dan benar-benar mengetahui (we can and do know) – selanjutnya bahkan kita yakin (we are certain). Untuk mengetahui sesuatu kita harus lebih dahulu memiliki beberapa pengetahuan yang memenuhi dua kriteria: certain (pasti) dan uninferred (tidak tergantung pada klaim pengetahuan sebelumnya). Contoh untuk itu: a = a dan keseluruhan > bagian.

Kedua, skepticism. Aliran ini menjawab: tidak, kita tidak benar-benar tahu dan tidak juga dapat mengetahui. Mereka setuju dengan dogmatisme bahwa untuk berpengetahuan seseorang terlebih dahulu harus mempunyai beberapa premis-premis yang pasti dan bukannya inferensi. Tapi mereka menolak klaim eksistensi premis-premis yang self-evident (terbukti dengan sendirinya). Respon aliran ini seolah menenggelamkan manusia kedalam lautan ketidakpastian dan opini.

Ketiga, fallibilism. Aliran ini menjawab bahwa kita dapat mengetahui sesuatu, tetapi kita tidak akan pernah mempunyai pengetahuan pasti sebagaimana pandangan kaum dogmatis. Mereka ini hanya mengatakan mungkin (possible), bukan pasti (certain). Manusia hanya akan puas dengan pengetahuan yang reliable, tidak pernah 100% yakin. Tidak ada yang dapat diverifikasi melampaui posibilitas-posibilitas dari keraguan yang mencakup suatu pernyataan tertentu. Inilah yang dikenal dengan istilah “doubting Thomas” yang yakin bahwa kita selalu berhubungan dengan posibilitas-posibilitas dan probabilitas-probabilitas (pengetahuan) dan tidak pernah dengan kepastian-kepastian. Filosofi fallibilistik ini memandang sains senantiasa berada dalam gerak (posture) dan tidak diam. Belajar pengetahuan selalu bersifat terbuka untuk berubah dan bukannya final, bersifat relatif dan bukannya absolut, bersifat mungkin daripada pasti. Moda kerja aliran ini mengkaji pergeseran-pergeseran, melakukan cek dan re-cek, sekalipun hasil yang dicapai selalu saja akan bersifat tentatif.

Para filsuf kontemporer dengan pengecualian beberapa eksistensialis, percaya bahwa kita (manusia) memang dapat mengetahui, tetapi bagaimana?

Idealisme menjawab bahwa pengetahuan itu terdiri dari ide. Ide adalah produk akal (the mind) atau hasil dari proses-proses mental dari intuisi dan penalaran. Intuisi –jika bukan nalar—dapat meraih pengetahuan yang pasti. Analogi yang dipakainya adalah analogi garputala.

Realis klasik menjawab bahwa daya rasional dari akal mengurai kode pengalaman dan merajut darinya kebenaran. Pengetahuan kita tentang dunia eksternal hadir melalui penalaran terhadap laporan-laporan observasi. Sekalipun laporan tersebut dari waktu ke waktu sering menipu ktia, kita dapat selalu bersandar pada nalar kita dan percayalah bahwa pengetahuan pasti itu ada, kebenaran absolut itu ada, dan kita bisa menemukannya.

Kaum Thomis menjawab agar kita meletakkan kepercayaan pada wahyu sebagaimana pada nalar. Bagi mereka ada kebenaran yang ditemukan (truth finding) dan kebenaran yang diberikan (truth living). Adapun orang yang bijak adalah orang yang mampu mengambil manfaat dari keduanya. Aliran ini secara epistemologis bersifat dogmatis.

Sementara kaum realis modern, pragmatis, empirisis logis, atau naturalis mengambil tesis falibilistik bahwa pengetahuan adalah bersifat kontingen dari perubahan serta kebenaran bersifat relatif sesuai dengan kondisinya.

Dari sini, epistemologi adalah bidang tugas filsafat yang mencakup identifikasi dan pengujian kriteria pengetahuan dan kebenaran. Pernyataan kategoris yang menyebutkan bahwa “ini kita tahu” atau “ini adalah kebenaran” merupakan pernyataan-pernyataan yang penuh dengan makna bagi para pendidik karena sedikit banyak hal tersebut bertaut dengan tujuan pendidikan yang mencakup pencarian pengetahuan dan perburuan kebenaran.

Beberapa pandangan tentang konsep pendidikan:

(1) Pendidikan sebagai manifestasi (education as manifestation).

Dengan analogi pertumbuhan bunga atau benih, dikatakan bahwa pendidikan adalah suatu proses untuk menjadikan manifes (tampak aktual) apa-apa yang bersifat laten (tersembunyi) pada diri setiap anak.

(2) Pendidikan sebagai akuisisi (education as acquisition)

Dengan analogi spon, pendidikan digambarkan sebagai upaya untuk mengembangkan kemampuan seseorang dalam memperoleh (menyerap) informasi dari lingkungannya.

(3) Pendidikan sebagai transaksi (education as transaction)

Dengan analogi orang Eskimo di Baffin Bay yang “berinteraksi” (work together) dengan bebatuan yang ada di lingkungannya untuk membuat rumah batu (stone sculpture) yang secara organic sesuai dengan materialnya dan selaras dengan kemampuan pembuatnya. Pendidikan adalah proses memberi dan menerima (give and take) antara manusia dengan lingkungannya. Di sana seseorang mengembangkan atau menciptakan kemampuan yang diperlukan untuk memodifikasi atau meningkatkan kondisinya dan juga lingkungannya. Sebagaimana pula di sana dibentuk perilaku dan sikap-sikap yang akan membimbing pada upaya rekonstruksi manusia dan lingkungannya.

Filsafat dan pendidikan berjalan bergandengan tangan, saling memberi dan menerima. Mereka masing-masing adalah alat sekaligus akhir bagi yang lainnya. Mereka adalah proses dan juga produk.

(1) Filsafat sebagi proses (philosophy as process)

Filsafat sebagai aktivitas berfilsafat (the activity of philosophizing). Tercakup di dalamnya adalah aspek-aspek: (a) analisis (the analytic), yakni berkaitan dengan aktivitas identifikasi dan pengujian asumsi-asumsi dan criteria-kriteria yang memandu perilaku. (b) evaluasi (the evaluative), berkaitan dengan aktivitas kritik dan penilaian tindakan. (c) spekulasi (the speculative), berhubungan dengan pelahiran nalar baru dari nalar yang ada sebelumnya. (d) integrasi (the integrative), yakni konstruksi untuk meletakkan bersama atau mempertautkan kriteria-kriteria atau pengetahuan atau tindakan yang sebelumnya terpisah menjadi utuh.

Jadi, proses filosofis itu membangun dinamika dalam perkembangan intelektual.

(2) Filsafat sebagai produk (philosophy as product)

Produk dari aktivitas berfilsafat adalah pemahaman (understanding), yakni klarifikasi kata, ide, konsep, dan pengalaman yang semula membingungkan atau kabur sehingga bisa menjadi jernih dan dapat dimanfaatkan untuk pencarian pengetahuan lebih lanjut. Filsafat dengan “P” capital adalah suatu bangun pemikiran yang secara internal bersifat konsisten dan tersusun dari respon-respon yang dibuat terhadap pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam proses berfilsat. Pertama-tama, Filsafat memang tampak sebagai suatu jawaban, posisi sikap, konklusi, ringkasan akhir, dan juga rencana final.

Bahan dari:

P.H. Hirst & R.S. Peters. The Logic of Education. London: Routledge & Kegan Paul, 1972.

Charles J. Braunes & Hobert W. Burns. Problems in Education and Philosophy. New York: Prentice-Hall Inc., 1965.

Rabu, 10 September 2008

PERANAN UNIVERSITAS DALAM ERA GLOBALISASI-(Mas AFEN SENA NOREG 7617080427)

Kalau lembaga pendidikan tinggi pertama di Indonesia baru berdiri pada 1920 ( Technische Hoogeschool, THS, Bandung, sekarang ITB ), maka lembaga pendididkan tinggi pertama di dunia setelah Academia Plato pada abad empat abad sebelum Masehi adalah bologna pada abad ke-11 (Italia),Paris (Perancis) dan Oxford (Inggris) pda abad ke-12.. Setelah periode ini perguruan tinggi yang bentuk kelembagaanya menjadi universitas telah mengalami sutu evolusi yang demikian panjang dari sekedar penghasil lulusan.
Pada 1809, dengan pionirnya Von Humbolt (Jerman), universitas berkembang sebagai lembaga riset, dan pada 1862 menjadi lembaga pengabdi kepada masyarakat dengan adanya gerakan Land Grant oleh Presiden Abraham Lincoln melalui Morril Act-nya. Setelah periode ini, khususnya di AS dan Eropa Barat (Inggris, Jerman, dan Perancis ), disamping sebagai lembaga pendidikan, universitas adalah juga lembaga riset dan lembaga pengabdi kepada masyarakat. Karena itu, penulis memandang bahwa penerapan Tri Dharma adalah bentuk mutakhir universitas di dunia, yang dalam bahasa Clark Kerr dalam bukunya The Uses of university, dinyatakan sebagai berikut :
”A university anywhere can aim no higher than to be as British as possible for the sake of the graduates and research personel, as American as possible for the sake of the public at large.”
Kerr memandang universitas yang ideal adalah universitas yang menggabungkan tiga tradisi. Yaitu tradisi undergraduate Britania dengan college model Oxford dan Cambridge, program pasca-sarjanang berorientasi riset model Jerman, dan model pengabdian kepada masyarakat ala AS. Clark Kerr juga menyatakan :
“The basic reality, for the university, is the widespread recognition that new knowledge is the most important factor in economic and social growth. We are just perceiving that the university is invisible product, knowledge, may be the most powerful single element in our culture, affecting the rise and fall profession and even social classes, region and even nations”
Dari pernyataan Clark Kerr tampak demikian menentukannya universitas dalam mempengaruhi perkembangan masyarakat dan peradabannya.
Pandangan itu, yang disimpulkan oleh Clark Kerr pada 1963 setelah berhasil memimpin University of California yang berpusat di Berkeleym pada 1996 masih diikuti oleh Komisi Internasional Unesco untuk pendidikan abad ke-21 seperti yang diutarakan oleh komisi tersebut dalam kalimat berikut :
”It is primarily the universities that unite all the traditional functions associated with the advancement and transmission of knowledge; research, innovation teaching nad training, and continuing education. To these one can add another function that has been growing in importance recent years; international co-operation.
These functions can all contribute to sustainable development. As autonomous centers for research and creation of knowledge, universities can address some of development issues facing society.”
Menghasilkan lulusan yang berkualitas secara intelektual dan professional, menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan ikut serta dalam memecahkan masalah nasional masyarakat bangsanya maupun masalah kemanusiaan adalah hakikat dari Tri Dharma Perguruan Tinggi. Atas dasar landasan pemikiran ini pula tampaknya Presiden Soekarno dalam Rencana Pembangunan semesta Delapan Tahunan dari 1961 – 1969, antara lain menetapkan sasaran bagi didirikannya sekurang-kurangnyassebuah universitas negeri untuk setiap provinsi. Hakikat penerapan Tri Dharma Perguruan Tinggi pada 1962 adalah mencoba menerapkan Land Grant Movement Presiden Abraham Lincoln 1862 (seratus tahun sebelumnya ) di Indonesia, yang tujuannya adalah melibatkan secara langsung universitas dalam proses pembangunan untuk mempercepat proses industrialisasi dan manufaktur.
Kini kita bertanya : “Sejauh mana keberadaan universitas di Indonesia telah mempengaruhi percepatan pembangunan nasional ?” Tampaknya kita belum dapat memberikan jawaban yang positif. Bahkan kita menyaksikan betapa universitas kita, dari yang paling tua sampai yang paling muda, baik negeri maupun swasta, belum menunjukkan keinginan besar dan atau belum diberi kesempatan untuk terlibat, melibatkan diri, dan atau dilibatkan dalam memecahkan masalah- masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia. Puluhan tahun beberapa daerah Indonesia dilanda demam berdarah,ironisnya belum tampak upaya masyarakat akademik universitas melakukan riset untuk mencari obat guna mengatasi atau mencegahnya.
Setiap musim hujan, dari kota sampai desa hampir seluruh wilayah Nusantara terancam musibah banjir dan tanah longsor. Dan sebaliknya, jika musim kemarau kita menghadapi krisis air bersih. Apakah yang sudah dilakukan oleh pihak Uniccersitas? Akhir-akhir ini Indonesia, sebagai negara yang pernah menjadi penghasil gula terbesar di dunia, menghadapi banjir gula impor yang harganya lebih murah, dan dunia akademik tampak belum memberi pemikiran strategis untuk meningkatkan produktivitas industri gula tebu di Indonesia. Tampaknya terlalu banyak fenomena yang menunjukkan betapa darma riset dan pengabdian kepada masyarakat belum terlaksana sebagaimana diharapkan. Padahal setiap universitas pada umumnya memiliki lembaga penelitian dengan berbagai pusat penelitian, serta memiliki lembaga pengabdian masyarakat. Setiap dosen pun, untuk kepentingan kenaikan pangkat, diwajibkab melakukan riset. Disamping itu, program doktor pun telah ada di berbagai universitas. Namun riset yang dilaksanakan belum banyak yang bermakna untuk memajukan ilmu pengetahuan.
Dengan terjadinya gempa tektonik dan gelombang Tsunami yang dahsyat di Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam, dunia akademik Indonesia ditantang untuk mengembangkan pikiran dan teknologi untuk Indonesia yang mampu menghadapi segala ancaman dan tantangan. Wujud pengabdian masyarakat dunia akademik bukan hanya mengirimkan sukarelawan dan mengumpulkan dana, melainkan terutama adalah pemikiran dan teknologi pemecahan masalah.
Yang paling menarik dari peta nasional kita adalah bahwa setelah hampir enam tahun mengalami krisis multidimensi, universitas-universitas kita tidak ada yang secara sendiri-sendiri atau bersama melakukan suatu upaya untuk dapat memberikan rekomendasi yang didasarkan atas studi multidisiplin yang mendalan, komprehensif, dan secara akademik dan profesional dapat dipertanggungjawabkan untuk memecahkan masalah nasional yang berkaitan dengan masalah ekonomi, sosial budaya, dan industri. Yang menonjol hanyalah munculnya berbagai kritik, komentar, protes, dan demonstrasi yang mengatasnamakan kampus baik dari kalangan mahasiswa maupun Forum Rektor, atau perorangan, yang umumnya bernuansa politik.
Dari ketiga Darma Perguruan Tinggi, yang tampaknya tetap berjalan adalah darma . Walaupun demikian, kualitas lulusan diukur dari etos kerjanya, kemampuan intelektual, kreativitas, disiplin, karakter, serta moralnya belum seperti yang diharapkan. Ini dapat dilihat dari masih mudahnya sarjana lulusan universitas dalam melakukan tugas profesionalnya, baik dalam bidang hukum, ekonomi, politik, teknik, maupun pendidikan, mengabikan nilai-nilai moral.Kita menyaksikan betapa banyak kasusu permainan uang dan konspirasi politik dalam politik dan penegakan hukum, kebocoran pajak dan maraknya korupsi, dan lekas rusaknya banyak bangunan serta masih belum berkualitasnya proses pembelajaran di berbagai jenis dan jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Dengan kata lain,darma pendidikan yang dilaksanakan dalam lingkungan pendidikan tinggi belum mampu menjadi wahana pembudayaan kemampuan,nilai,dan sikap dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.Kini dunia telah memasuki era globalisasi.Maka wujud implementasi Tri Darma pun perlu disesuaikan.Para penganut globalisasi memandang era ini sebagai era post industrial society.Sheila Naughter,yang bersama kawannya mengadakan studi pembaharuan manajemen universitas (terutama negeri) AS,Inggris Raya,Kanada,dan Australia mengajukan pertanyaan:

What is the scope of economic change that characterizes the last quarter of the twentieth century and how does is affect hihgher education?’’

Jawabannya:

We have moved from an industrial to a post industrial society and higher education is more important to the latter. Post industrial societies depends on higher education for training and research and development (R and D) to a degree than do industrial societies.’’

Kenyataan terjadinya perubahab masyrakat dari masyrakat industri ke masyrakat pasca industri tersebut menterbelakangi perubahan manjemen universitas di Negara-negara maju. Universitas makin meningkat kedudukannya sebagai learning institution dalam perubahan masyarakat industri. Ben David menyatakan:

“ As many inventions of the industrial revolution made by non schooled and inventions as by trained scientists (Ben-David 1965;Noble 1976); most of the discoveries of the current technological revolution were made by persons with advanced degree. The post-industrial technological revolution depend universities. Universities provide the necessary for the increasing member of proffesionals employed by corporotion to invent and innovate with regard to sophisticated technologies and product to increasing member of cases universities on the sites where new technologies and product are developed,often in partnership with bussines through funding provided in part by the state.”

Perkembangan di Indonesia belum sejauh seperti yang digambarkan. Namun kita tidak dapat mengeluh bahwa kita telah berada dalam era globalisasi.

Dosen dan mahasiswa dalah inti civitas akademika suatu universitas dan perguruan tinggi dalam segala bentuknya. Dalam sejarah perkembangan perguruan tinggi di dunia, ada universitas yang keberadaannya karena inisiatif mahasiswa ( Bologna di Italia pada abad ke-11) dan ada yang atas inisiatif dosen ( seperti universitas Paris pada abad ke-12). Masing-masing membawa model yang berbeda pula dampaknya pada perkembangan peradaban dunia. Model Bologna, yang menjadikan mahasiswa paling dominan dalam penlenggaraan universitas, mempengaruhi model universitas yang berkembang melalui Spanyol selanjutnya Amerika Latin. Clark Kerr melukiskannya dalam kalimat berikut:” The Bologna pattern had an impact on salamanca and Spain generally and then in Latin America, where students to this day are usually found in the top governing councils. Their impact is genrally more to lower than to raise academics standards although there are exceptions such as Buenos Aires after Peron under leadership of Risieri Frondizi. Students also involve the university as an institution in the national political controversies of the moment.”
Berbeda dengan Bologna, ynag menempatkan mahasiswa pada posisi dominan bahkan melibatkan universitas dalam percaturan politik nasional sesaat, model Paris berkembang melalui Oxford dan Cambrdge (Inggris), Jerman, dan AS. Dalam kaitan ini Kerr menguraikan kedudukan faculty (dosen) di AS dan British Commonwealth dalam kalimat betikut :
“Faculties generally in United States and the British Commonwealth, some earlier and some later, have achieved authority over admissions, approval of courses, examinations, and granting of degrees- all handled in a rather routine from the point of
view of the faculty as a whole. They have also achieced considerable influence over faculty appointments and academic freedom, which are not handling routinely. Faculty control and influence in these areas are essential to the proper conduct of academic laife.”
Kekuatan besar senat dalam berbagai kebijakan universitas ini berkurang sejak diperkenalkannya sistem elektif bagi mahasiswa dalam mengambil mata kuliah.
Dari uraian tentang kedudukan mahasiswa dan dosen dalam perkembangan universitas, yang merupakan inti kebudayaan unversitas, dapatlah dipahami bahwa masalah kemerdekaan akademik adalah masalah kemerdekaan dosen dan mahasiswa untuk mengajar dan belajar. Doktrin ini mulai muncul bersamaan dengan lahirnya konsep universitas sebagai lembaga riset,selain lembaga pendidikan (di Jerman). Karena itu muncul doktrin lehfreiheit, kemerdekaan dosen untuk mengajar dan melaksanakan riset, dan lernfreiheit, kemerdekaan mahasiswa untuk belajar. Dengan doktrin ini maka dosen bebas menciptakan mata kuliah yang dipandang penting dan melaksanakan riset, dan mahasiswa bebas untuk memilih mata kuliah yang dikehendakinya.
Sebagai konsekuensi kemerdekaan akademik bagi setiap dosen, di berbagai universitas besar kita mengenal catalogue courses yang meliputi sampai ribuan bahkan puluhan ribu mata kuliah. Mata kuliah itu lazimnya terbagi dalam undegraduate courses, upper division courses, dan graduate courses. Bukan hanya perumusan courses outline yang menjadi kewenangan seorang guru besar (di University of California, profesor meliputi assistant professor sampai full professor dan dibedakan dari lecturer dan instructor), berwenang mengusulkan mata kuliah baru atau program baru sesuai dengan perkembangan disiplin ilmunya. Sedangkan mahasiswa memiliki kebebasan memilih mata kuliah yang akan diambilnya sesuai dengan jurusan yang ditempuh.
Dari kacamata ini :”sudahkah ada academic freedom di Indonesia?” Masih banyak universitas yang tidak mengenal mata kuliah pilihan (di Universitas Islam Negeri Jakarta sudah ada ) dan mahasiswa pun, termasuk mahasiswa pasca-sarjana, juga masih banyak yang belum memiliki kemerdekaan memilih mata kuliah. Yang ada adalah kemerdekaan politik,yang sesungguhnya bukan merupakan wilayah akademik dan universitas, melainkan wilayah politik. Secara tidak sadar, dilihat dari tingkah laku politik mahasiswa dan sementara dosen serta rektor, kita tampaknya terpengaruh oleh model Bologna, yaitu mengutamakan kemerdekaan politik dan melibatkan diri dalam kemelut politik sesaat. Padahal model ini dalam sejarah menunjukkan kurangnya sumbangan universitas bagi pembangunan bangsa. Kiranya kita perlu belajar betapa negara- negara Amerika Latin yang telah merdeka ratusan tahun sebelum Indonesia merdeka dan telah memiliki universitas yang lebih tua dari Harvard University (1639), tapi tingkat perkembangannya ada yang masih di belakang Malaysia, Singapura, dan Korea Selatan, apalagi dengan AS yang kemerdekaannya hampir bersamaan dengan negara Amerika Latin.
Dalam kondisi belum begitu bermaknanya peranan universitas dalam pembangunan masyarakat bangsa Indoneisa, isu tentang debirokratisasi terus berlangsung, Sentralisasi dan birokratisasi telah dijadikan kambing hitam bagi kemerdekaan universitas dan lembaga pendidikan pada umumnya untuk dapat melaksanakan fungsinya. Sampai berapa jauh hal tersebut dapat dibuktikan kebenarannya, diperlukannya suatu studi yang mendalam. Namun suatu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa birokrasi merupakan model penyelenggaraan organisasi pemerintahan dan administrasi suatu lembaga atau usaha agar dapat berjalan secara efisien dan efektif. Perkembangan ilmu pengetahuan memang memerlukan kemerdekaan dan otonomi tanpa camur tangan kepentingan diluar kepentingan ditemukannya kebenaran ilmiah dan dikembangkannya teknologi baru. Namun untuk memberikan dukungan terhadap kegiatan keilmuan yang bermakna, baik kependidikan maupun keilmuan,diperlukan dukungan dana. Dalam kaitan dengan dukungan dana ini, yang sumbernya dapat hibah, subsidi, maupun pinjaman serta dukungan pembiayaan, diperlukan mekanisme administrasi yang diatur dalam kerangka birokrasi (good governance).
Disinilah titik temu antara birokrasi dan kepentingan otonomi keilmuan suatu universitas. Yang menarikuntuk disoroti adalah bahwa pada saat dunia akademik Indonesia belum kuat untuk mewujudkan kemerdekaan memajukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, sikap apriori terhadap pemerintahan marak. Padahal sebuah universitas sebesar Harvard University, yang pendapatan per tahunnya (bukan dari student fee)mencapai miliaran dollar AS, tidak dapat melepskan diri dari status Federal Grant University, karena sebagian besar grant diperoleh dari Pemerintah Federal, baik dari Departemen Pendidikan, Kesehatan, dan Kesejahteraan, Departemen Pertahanan, Departemen Pertanian, NASA, Badan Tenaga Atom, National Science Foundation, dan lembaga federal lainnya. Dan ini dapat terjadi karena kemampuan pemimpin universitas (unsur birokrasi) melobi dan bernegosiasi dengan badan-badan pemberi grant tersebut.Dalam pada itu, sejarah universitas di negara-negara maju seperti Perancis, melalui kebijakan Napoleon, yang menjadikan universitas sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional Perancis dibawah Menteri Perancis, atau Jerman yang menjadikan universitas bagian dari sistem pendidikan nasional dan berada di bawah kekuasaan negara bagian, dan Inggris yang berada di bawah Royal Commission, membuktikan ketergantungan perkembangan universitas pada pihak pemerintah.
Berangkat dari kenyataan sejarah di negara-negara maju, Clark Kerr sampai pada kesimpulan tentang dominannya peranan administrasi dalam penyelenggaraan universitas:
“The general rule is that the administration everywhere becomes, by force of circumstances if not by choice,a more prominent feature of university. As the institution becomes larger, administration becomes more formalized and separated as a distinct function; as the institution becomes more complex, the role of administration becomes more central in integrating it; as it becomes more related to the once external world, the administration assumes the burdens of these relationships.”
Dari uraian di atas, dan dengan mengutip kesimpulan studi Clark Kerr, jelaslah betapa dalam masyarakat yang semakin kompleks dan mutakhir, besarnya tanggng jawab universitas baik dalam melaksanakan darma pendidikan, darma penelitian, dan darma pengabdian kepada masyarkat, pelaksanaan otonomi keilmuan dan kemerdekaan akademik, perlu didukung oleh sistem administrasi dengan model manajemen yang modern yang efisien dan efektif.
PENUTUP
Dari serangkaian uraian analitis tentang peranan strategis universitas dalam era globalisasi, dapatlah ditarik beberapa generalisasi sebagai berikut ;
1. Bahwa universitas di Indonesia, yang diharapakan berperan sebagaimana universitas di negara berkembang, pada umumnya belum dapat memberikan sumbangan yang bermakna bagi pembangunan negara bangsa, terutama dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era globalisasi.
2. Bahwa Tri Darma Perguruan Tinggi sebagai doktrin universitas di Indonesia yang digariskan sejak 1962, yang menempatkan universtitas sebagai motor penggerak pembangunan negara bangsa yang modern, ternyata belum dilaksanakan sebagaimana mestinya, baik dalam mengemban misi pendidikan, penelitian, maupun pengabdian masyarakat.
3. Bahwa dalam era globalisasi, yang hakikatnya telah menjadikan dunia memasuki era pasca-industrialisasi, kedudukan universitas sebagai lembaga pendidikan, lembaga pengembangan ilmu pengetahuan, dan peserta aktif dalam proses pembangunan ekonomi menjadi sangat strategis.
4. Bahwa makna darma pengabdian masyarakat lembaga pendidikan tinggi, terutama universitas dalam era globalisasi bukan sekedar melakukan bakti sosial atau pengerahan sukarelawan, melainkan dan terutama adalah dalam memecahkan masalah-masalah nasional maupun internasional, baik yang kontemporer maupun yang berjangka panjang mealui kemampuan akademik universitas.
5. Bahwa agar bangsa Indonesia tidak tertinggal dalam perubahan yang cepat dalam era globalisasi, perlu diupayakan sekuat tenaga agar universitas di Indonesia dikembangan dan dikelola secara efisien dan efektif sehinggga benar-benar dapat menjadi pust pendidikan yang bermutu, pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang responsif, pruduktif, dan kompetitif, dan sebagai pusat pemikiran, penemuan, dan inovasi yang dapat diabdikan secara langsung untuk memecahkan masalah-masalah nasional. Untuk itu pengelolaan perguruan tinggi harus benar-benar:
(1) Memungkinkan terciptanya suasana akademik yang menjadikan guru besar dan tenaga pengajar lainnya dapat secara bergairah, penuh tanggung jawab dan ketekunan sebagai ilmuwan dan pendidik, melaksanakan kemerdekaan akademiknya, yaitu mengajar dan melakukan penelitian.
(2) Memungkinkan para mahasiswa dengan penuh kebahagiaan mendapatkan rangsangan dan tantangan untuk merealisasikan kemerdekaan akademiknay, yaitu belajar dengan fasilitas yang memenuhi syarat agar mereka dapat menjadi ilmuwan/tekmolog/profesional yang berkarakter dan bemoral serta bergairah untuk mengabdi pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(3) Menetapkan dan mempertahankan standard of excellent dan meritocracy, baik dalam rekrutmen tenaga pengajar dan penerimaan mahasiswa maupun dalam promosi mereka.

KAITAN ILMU PENGETAHUAN DAN MORAL - (Mas AFEN SENA, NOREG 7617080427)

Pertentangan Ontologis: Ilmuan dan Gereja
Copernicus (1473-1543) dan kemudian diteruskan oleh Galileo (1564-1642), berteori tentang “bumi berputar mengelilingi matahari”, bukan sebaliknya seperti yang diyakini dalam ajaran gereja. Agama (gereja) adalah mata air sebagian besar tatanan moral dalam pengertian metafisik menentang pernyataan Copernicus itu. Perbedaan pendapat antara ilmuan dan kalangan gereja ini menandai babak dimulainya pertentangan antara ilmu pengetahuan dan agama. Galileolah yang kemudian menjadi tumbal pada puncak pertentangan ini ketika menghadapi pengadilan agama agar ia mencabut pernyataannya bahwa bumi mengelilingi matahari.
Pertentangan ini sesungguhnya terjadi pada wilayah medan ontologis (metafisika). Petualangan untuk mengungkap kebenaran dalam gejala alam semesta mestilah bebas dari nilai. Sementara pada tahap ini, petunjuk-petunjuk agama sebagai suatu nilai kebenaran tentang alam semesta, membatasi kontemplasi ontologis kalangan ilmuan untuk mengungkap hakikat dari realitas alam. Dapat dikatakan bahwa pertarungan sesungguhnya yang terjadi antara ilmuan dan agamawan ketika itu adalah upaya otoritas agama untuk mempertahankan maknanya tentang realitas, sementara kalangan ilmuan lebih pada perjuangan untuk membebaskan diri dari nilai-nilai untuk mengungkap hakikat realitas. Pertentangan dalam ruang ontologis inilah yang sesungguhnya dialami antara otoritas gereja dengan Copernicus, Galileo, Socrates, dan sebagainya.
Kegigihan ilmuan tersebut di atas sebenarnya merupakan sebuah tekad untuk menemukan kebenaran, sebab menemukan kebenaran—apalagi mempertahankannya, diperlukan keberanian moral. Sejarah kemanusiaan dihiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan nyawahnya dalam mepertahankan kebenaran apa yang mereka anggap benar (Jujun S. Suriasumantri 1994). Demikian untuk hal ini, perlawanan yang dilakukan ilmuan ini adalah sebuah perlawan ontologis: kebenaran asali tentang alam semesta. Pihak gereja mendasarkan legitimasinya tentang kebenaran alam semesta menurut panduan al-Kitab sementara kalangan ilmuan mendasarkannya pada prinsip-prinsip kontemplasi yang positivistik.
Pada tahun 1800-an, akhirnya ilmuan memperoleh otonominya secara utuh. Otonomi dalam artian bahwa kegiatan kontemplasi “ontologis” ilmu untuk menyibak hakikat realitas terbebas dari pengaruh nilai-nilai dari luar wilayah ontologis itu seperti agama, ideologi atau pertimbangan etis. Di sinilah ilmu pengetahuan mendapatkan otonomi untuk mengembangkan kajian dan penelitiannya. Mempelajari gejala alam menurut hukum-hukum yang bekerja dan mengatur kejadian-kejadian alam, bukan menurut ketentuan-ketentuan yang diidealkan oleh ajaran agama dari al-kitab atau ideologi tertentu.

Otonomi Pengembangan Ilmu
Berkat otonomi ini pula, ilmuan dapat berekspansi melalui proses-proses ontologis sehingga melahirkan berbagai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan ini dibangun atas dasar kajian-kajian epistemologis terhadap obyek-obyek pengetahuan yang dilahirkan oleh proses ontologis sebelumnya. Ilmu pengetahuan berkembang pesat pada tahap ini, karena berbagai macam metode ilmiah untuk mendapatkan pengetahuan, dikembangkan dikembangkan terus oleh para ilmuan. Gejala alam dan gejala kehidupan manusia (sosial-humaniora), satu-satu persatu ditemukan dan terus menambah perbendaharaan pengetahuan manusia. Begitu pula, obyek material melahirkan juga ilmu-ilmu murni maupun terapan (sesuai dengan obyek formalnya), seperti ilmu ekonomi, biologi, hukum, fisika, kedokteran, fisika, pertanian, sosiologi, antropologi, politik, dan sebagainya.
Seperti disebutkan tadi, bahwa obyek-obyek material ilmu dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok—dasarnya dalam filsafat ilmu: yakni ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Ilmu alam melahirkan sejumlah obyek formal yang dikaji oleh dan menurut disiplinnya sendiri seperti biologi, fisika, farmasi, pertanian, peternakan, kedokteran, peternakan, matematika, kimia, geologi, dan sebagainya. Ilmu-ilmu yang tergolong ke dalam ilmu alam ini dibagi menjadi dua, yaitu: ilmu murni yang mencakup biologi, fisika, matematika, dan kimia; dan ilmu terapan yang mencakup fisika terapan, biologi terapan, kimia terapan, peternakan, pertanian, geologi, teknologi dan sejenisnya.
Sedangkan yang tercakup ke dalam ilmu-ilmu sosial adalah sosiologi, antropologi, politik, administrasi, ekonomi, hukum, budaya, komunikasi, psikologi, dan sebagainya. Seperti ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial juga dibagi ke dalam dua kelompok, yakni ilmu murni dan ilmu terapan. Ilmu murni mencakup antropologi, politik, sosiologi, psikologi, ekonomi, budaya, hukum, dan sejenisnya. Sementara yang tergolong ke dalam ilmu terapan antara lain komunikasi, pemerintahan (politik terapan), kependudukan (sosiologi terapan), administrasi, manajemen atau akuntansi (ekonomi terapan), hukum tata negara (hukum terapan), dan sebagainya.
Kembali kepada tiga dasar terbentuknya ilmu penetahuan dalam filsafat ilmu: ontologis, epistemologis, dan aksiologis, maka ilmu-ilmu murni yang telah dikemukakan sebelumnya mengembangkan dirinya dalam wilayah dasar ontologis dan epistemologis. Sementara untuk ilmu-ilmu terapan berkembang dalam wilayah dasar aksiologis. Tulisan ini akan berlanjut pada kemajuan yang dicapai ilmu pengetahuan pada tingkatan aksiologis. Tingkatan ini akan berbicara mengenai manfaat dan kegunaan hasil ilmu pengetahuan ini untuk meningkatkan mutu kehidupan manusia.

Tingkatan Aksiologi Pengetahuan
Dalam filsafat ilmu, menurut Bertrand Russel, tahap ini disebut juga tahap manipulasi. Dalam tahap ini, ilmu tidak saja bertujuan menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman (ontologi dan epistemologi), melainkan juga untuk memanipulasi faktor-faktor yang terkait dengan alam untuk mengontrol dan mengarahkan proses-proses alam yang terjadi. Konsep ilmiah tentang gejala alam sifatnya abstrak menjelma bentuk jadi kongkret berupa teknologi, misalnya (Jujun S. Suriasumantri 1994).
Teknologi yang dapat diartikan sebagai penerapan konsep-konsep ilmiah untuk memecahkan persoalan-persoalan praktis, dalam perjalan dan pencapaian-pencapaiannya, justru menimbulkan masalah lain. Eksesnya yang dapat disebutkan misalnya dehumanisasi, degradasi eksistensi kemanusiaan, dan pengrusakan lingkungan hidup. Sejarah kehidupan manusia memang telah mencatatkan bahwa Perang Dunia I dan II merupakan ajang pemanfaatan hasil temuan-temuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penggunaannya secara destruktif ini menimbulkan kontroversi. Pada satu sisi hal itu menimbulkan efek kehancuran pada manusia dan alam, sementara pada sisi lainnya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kemudian banyak dimanfaatkan dalam peperangan dan kehancuran alam adalah bagian dari rangkain perjalan ilmu untuk mengunkap hakikat gejala alam dan manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sering melupakan faktor-faktor manusia. Misalnya, manusia mesti menyesuaikan diri terhadap teknologi-teknologi baru (Jaques Ellul 1964). Akhirnya, eksistensi manusia terpinggirkan dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Jujun S. Suriasumantri 1984).
Bencana-bencana yang ditimbulkan oleh pamanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi (science and technology) antara kerusakan ekologi. Banyak yang dapat disebutkan tentang kehancura ekologi: kontaminasi air, udara, tanah, dampak rumah kaca, kepunahan spesies tumbuhan dan hewan, pengrusakan hutan, akumulasi limba-limba toksik, penipisan laporan ozon (CO1) pada atmosfir bumi, kerusakan ekosistem lingkungan hidup, dan lain-lain. Lebih-lebih lagi, musuh kemanusiaan, yaitu perang. Perang Dunia I dan II yang meluluhlantakkan Eropa dan sejumlah kawasan di Asia dan Pasifik menggoreskan luka kemanusiaan. Berapa korban manusia berguguran akibat bom atom yang dijatuhkan di Hirosima dan Nagasaki, Jepang. Atau kawasan Asia Tengah, yaitu Afganistan yang menjadi ajang ujicoba penemuan mutakhir teknologi perang buatan Amerika Serikat dan Uni Soviet (sekarang Rusia).
Pada akhirnya ilmuan memang tiba pada opsi-opsi: apakah ilmu pengetahuan dan teknologi netral dari segala nilai atau justru batas petualangan dan prospek pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak boleh mengingkari suatu nilai, seperti nilai moral, religius, dan ideologi. Ilmu pengetahuan sudah sangat jauh tumbuh dan berkembang untuk dirinya sendiri, sementara teknologi atau ilmu pengetahuan terapan lain terus bergulir mengikuti logika dan perspektifnya sendiri—dalam hal ini tak ada nilai-nilai lain yang diizinkan memberikan kontribusi. Kecemasan tertinggi di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terjadi ketika ilmu kedokteran berhasil menyelesaikan proyek eksperimennya mengembangkan janin dengan metode yang disebut “bayi tabung”.
Lalu kemudian ternyata masih ada yang lebih mutakhir dari pada “bayi tabung” itu, yakni suksesnya para ilmuan merampungkan eksperimen kloningnya. Yang terakhir ini mengubah hakikat manusia secara dramatis; ilmu pengetahuan yang diciptakan oleh manusia mampu menciptakan manusia juga. Bahkan, ilmu pengetahuan yang diproyeksi untuk membantu dan memudahkan manusia mencapai tujuan-tujuan hidupnya, justru berkembang dimana ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri mengkreasikan tujuan-tujuan hidup itu sendiri.

Pertentangan Aksiologis: Ilmuan dan Humanis
Kalangan humanis kemudian mengajukan sejumlah pertanyaan etis yang penting. Antara lain pertanyaan itu adalah: untuk apa sebenarnya ilmu harus dipergunakan? Dimanakah batas ilmu harusnya berkembang? Namun pertanyaan ini tidak urgen bagi ilmuan dan tidak merupakan tanggung jawab bagi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Penelaahan tujuan ilmu pengetahuan itu dikembangkan dan diterapkan, untuk tulisan ini, cukup penting. Karena ide dasar penerapan hasil-hasil ilmu pengetahuan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan penghidupan manusia. Seperti disebutkan sebelumnya, ekspektasi besar manusia pada ilmu pengetahuan bahwa itu dapat membantu dan memudahkan manusia mencapai tujuan-tujuan hidupnya. Namun yang terjadi kemudian adalah absuditas (paradoks): bahwa ilmu pengetahuan justru membiaskan kehancuran dan malapetaka bagi alam dan manusia (kehancuran itu telah disebutkan pada pragraf sebelumnya).
Adakah ini berarti bahwa gerak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebaiknya cukup sampai di sini? Atau boleh dilanjutkan tetapi menurut konsideran dari otoritas-otoritas tertentu (bukan otoritas administratif dan institusi keagamaan atau ideologi)? Akan tetapi, bila ruang gerak prospek ilmu pengetahuan dan teknologi ini dipagari, berarti kita telah melangkah mundur hingga pada jamannya Galileo atau Socrates. Konsekuensinya, kemandirian ilmu pengetahuan untuk berkembang terkebiri, sementara problem yang muncul sesungguhnya tidak bersumber pada pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi itu.
Untuk sementara, dasar ontologis, epistemologis dan aksiologis terbentuknya pengetahuan perlu diungkit kembali untuk mempetakan persoalan yang ditimbulkan oleh pencapaian-pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut dasar-dasar ini, suatu pengetahuan merupakan hasil kontemplasi yang menguak hakikat realitas alam dan manusia sebagai suatu obyek empiris (tahap ontologis). Ketika realitas yang berbentuk obyek itu berusaha dipahami dan dimengerti (diketahui), maka itulah tahap epistemologis. Intervensi kepentingan manusia dan nilai-nilai etika, moral, dan agama tidak ditemukan dalam tahap ini dan memang tidak relevan ditempatkan dalam proses itu. Ketika ada pertanyaan tentang manfaat pengetahuan itu bagi kehidupan manusia, berarti yang dimaksudkan adalah tahap aksiologis dari pengetahuan itu. Dalam tahap ini, persitwa alam dan manusia tidak lagi bergerak secara orisinal menurut kecenderungan alamiahnya, tetapi sudah merupakan proses yang artikulatif dan manipulatif. Dalam artian bahwa, kepentingan manusia sudah dapat berinfiltrasi ke dalam penerapan pengetahuan itu.
Tahap aksiologis inilah dari sejumlah rangkaian kegiatan keilmuan suatu pengetahuan yang kerap menimbulkan kontroversi dan paradoks. Hal ini dimungkinkan karena adanya kemampuan manusia melakukan artikulasi dan manipulasi terhadap kejadian-kejadian alam untuk kepentingannya. KEPENTINGAN manusia sangat ditentukan oleh motif dan kesadaran yang pada manusia itu sendiri. Jadi, fokus persoalan ilmu pengetahuan pada tingkat aksiologis ini ada pada manusia. Oleh karena itu, maka tinjauan kita tentang manusia akan sangat membantu memahami dan menyusun pengertian tentang bagaimana sebaiknya ilmu pengatahuan dan teknologi diteruskan pengembangannya dalam tataran aksiologi. Sekaligus pula diperperterang kembali bahwa pertentangan antara kalangan humanis dan ilmuan pada abad ini adalah berkisar pada tingkatan aksiologis itu. Berbeda pada zamam Copernicus atau Galileo, di mana ilmuan bertentangan dan saling mempertahankan keyakinan dengan kalangan gerja pada tataran ontologis. Oleh karena itu, tuntutan kemanusiaan pada wilayah aksiologi ilmu pengetahuan dan teknologi ini mendapat permakluman secara luas.

Aspek Etika (Moral) Ilmu Pengetahuan
Kembali, kita akan fokus pada manusia sebagai manipulator dan artikulator dalam mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan. Dalam psikologi, dikenal konsep diri daru Freud yang dikenal dengan nama “id”, “ego” dan “super-ego”. “Id” adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis (hawa nafsu dalam agama) dan hasrat-hasrat yang mengandung dua instink: libido (konstruktif) dan thanatos (destruktif dan agresif). “Ego” adalah penyelaras antara “id” dan realitas dunia luar. “Super-ego” adalah polisi kepribadian yang mewakili ideal, hati nurani (Jalaluddin Rakhmat, 1985). Dalam agama, ada sisi destruktif manusia, yaitu sisi angkara murka (hawa nafsu).
Ketika manusia memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk tujuan praktis, mereka dapat saja hanya memfungsikan “id”-nya, sehingga dapat dipastikan bahwa manfaat pengetahuan mungkin diarahkan untuk hal-hal yang destruktif. Milsanya dalam pertarungan antara id dan ego, dimana ego kalah sementara super-ego tidak berfungsi optimal, maka tentu—atau juga nafsu angkara murka yang mengendalikan tindak manusia menjatuhkan pilihan dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan—amatlah nihil kebaikan yang diperoleh manusia, atau malah mungkin kehancuran. Kisah dua kali perang dunia, kerusakan lingkungan, penipisan lapisan ozon, adalah pilihan “id” dari kepribadian manusia yang mengalahkan “ego” maupun “super-ego”-nya.
Oleh karena itu, pada tingkat aksiologis, pembicaraan tentang nilai-nilai adalah hal yang mutlak. Nilai ini menyangkut etika, moral, dan tanggungjawab manusia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemaslahatan manusia itu sendiri. Karena dalam penerapannya, ilmu pengetahuan juga punya bias negatif dan destruktif, maka diperlukan patron nilai dan norma untuk mengendalikan potensi “id” (libido) dan nafsu angkara murka manusia ketika hendak bergelut dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan. Di sinilah etika menjadi ketentuan mutlak, yang akan menjadi well-supporting bagi pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Hakikat moral, tempat ilmuan mengembalikan kesuksesannya.
Etika adalah pembahasan mengenai baik (good), buruk (bad), semestinya (ought to), benar (right), dan salah (wrong). Yang paling menonjol adalah tentang baik atau good dan teori tentang kewajiban (obligation). Keduanya bertalian dengan hati nurani. Bernaung di bawah filsafat moral (Herman Soewardi 1999). Etika merupakan tatanan konsep yang melahirkan kewajiban itu, dengan argumen bahwa kalau sesuatu tidak dijalankan berarti akan mendatangkan bencana atau keburukan bagi manusia. Oleh karena itu, etika pada dasarnya adalah seperangkat kewajiban-kewajiban tentang kebaikan (good) yang pelaksananya (executor) tidak ditunjuk. Executor-nya menjadi jelas ketika sang subyek berhadap opsi baik atau buruk—yang baik itulah materi kewajiban ekskutor dalam situasi ini.

Rujukan:
Jaques Ellul, 1964, “The Tecnological Society”. Alfred Knopf, New York.
Rakhmat, Jalaluddin, 1985, “Psikologi Komunikasi”, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Suriasumantri Jujun S., 1984, “Filsasfat Ilmu”, sebuah pengantar populer. Pustaka Sinar Harapan: Jakarta

Selasa, 09 September 2008

DESKRIPSI MATA KULIAH METODOLOGI PENELITIAN

Program Doktor Manajemen Pendidikan
Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta
Dosen : I Made Putrawan
Semester : I 2008/2009
http : //www.putrawan .com

Deskripsi mata kuliah
mata kuliah ini berisikan tentang hakikat penelitian menejemen ilmiah, proses penelitian ilmiah, berbagai jenis dan metode penelitian, konsep populasi dan sampling, konsep pengukuran, kalibrasi alat ukur, konsep penelitian kualitatif , action research, R & D, riset kebijakan, pengujian hipotesis, damn tehnik penulisan disertasi, dalam rangka peningkatan kemampuan mahasiswa melakukan penelitian untuk disrtasi.

Topik-topik Course outline
  1. PENDAHULUAN
  2. PROSES PENELITIAN ILMIAH
  3. BERBAGAI JENIS DAN PENELITIAN ILMIAH
  4. KONSEP PENELITIAN SURVEY
  5. PENELITIAN EKSPERIMEN & EX POST FACTO
  6. KONSEP PENELITIAN & SAMPLING
  7. KONSEP PENGUKURAN & DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA
  8. SELF EVALUATION
  9. SEKILAS PENELITIAN KUALITATIF
  10. ACTION RESEARCH
  11. PENELITIAN KEBIJAKAN
  12. R & D DALAM PENELITIAN MANAJEMEN & MIXED METHODS RESEARCH
  13. BEBERAPA TEKNIK PENGUJIAN HEPOTESIS
  14. TEKNIK PENULISAN DISERTASI
  15. REVIEW
  16. PENGUMPULAN PROPOSAL DISERTASI

PENGAMBILAN KEPUTUSAN SECARA KUANTITATIF ( Must Read Book)

Richard I. Levin, david S. Rubin, Joel P. Stinson & Everette S Gradner, Jr, 2002, Rajagrafindo Persada, Jakarta


Buku ini merupakan hasil kerja sama antara beberapa ahli sebagai pengarang yang memiliki keandalan setara di bidang "Metode Kuantitatif". sehingga tak setitik noktah pun dari kajian metode kuantitatif yang luput di dalam buku ini.

Richard I levin, umpamnya adalah staf pengajar ahli program MBA Universitas Nort carolina. Bidang studi meode kuantitatif telah diajarkan di berbagai perguruan tinggi terkenal As selama lebih dari 25 tahun. Kini saran saran dan hasil penelitiannya lebih banyak diperebutkan oleh perusahaan besar.

Sementara david S Rubin adalah Direktur program Phd (Doktor) di bidang administrasi bisnis Universitas North Carolina. juga menjabat Direktur di Departement Operational research, dan sering melakukan penelitian di sejumlah kasus kasus kuantitatif.

Sedangkan, Joel P Stinson adalah staf pengajar Metode Kuantitatif di Universitas Syracuse. Namun namanya lebih mencuat sebagai seorang ahli metode kuantitaif dari sisi pedagogis.

Tak kalah hebatnya Everatte S gardner, Jr, pensiuanan Laksamana AL As ini meraih PHD nya di bidang bussiness Administration. Ahli analisys inventory, namun lebih dikenal karena keandalanya di bidang forecasting.

DAFTAR CONTACT PERSON- MAHASISWA PASCA SARJANA (S3) MANAJEMEN PENDIDIKAN KELAS A UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA (UNJ) ANGKATAN 2008

1. I Ketut Damana
Vihara Metta. Jl Palmerah Utara IV/26 C Jakarta Barat-
telp./HP: 021-5323058/0813-16003366

2. Ahmad Fauzi
Kantor
Jl. Perjuangan Singaragi by pass kota Cirebon telp. 0231-481264
Rumah
Jl. sekar Kemuning No 19 karya Mulya RT 01/ RW 03 Cirebon -
Telp./HP: 0231-483151/ 0852-24002109

3. Arwan
Kantor
Diknas Pendidikan SUMSEL Kapten A Rivai No.47 Palembang
Rumah
Jl. Demang Lebar Daun Macan Kembang II no. 4443a
kel. Demang Lebar Daun Palembang 30137 -
Telp/HP: 0711-445907/0812-7883430

4. Maya Malau
Kantor
Jl. Lap. Banteng Barat No. 3-4 Jakarta Departemen Agama telp. kantor: 381779 pswt.263
Rumah
Jl. Panti Asuhan Rt/Rw: 002/88 Jurang Mangu Barat
Banten - Jawa Barat
HP. 0813-10443300

5. Sholahi
Kantor
Jl. Kandep Agaman Kota Jakarta Barat telp. 5647452
Rumah
Jl. Bambu II no. 11 Srengseng Kembangan Jakarta Barat 11630
HP. 0812-9514661


6. Siti Rochanah
Kantor
UNJ - Kampus UNJ Rawamangun Jakarta Utara
bagian kepegawaian
HP: 0812-9391497
email: Ibusepuh@yahoo.com

7. Charles Manalu
Kantor
Jl. Lapangan Banteng Barat No. 3-4 Departemen Agama Jakarta telp. 3811654 ext. 261
Rumah
Tipar Selatan III No. 364 Jakartqa Utara
Telp/HP. 4414857/0816-1921959

8. Kliwan
Kantor
-
Rumah
Jl. Sedap Malam no. 6 Komp. MA, Villa Pamulang Indah Jakarta Selatan
HP. 0812-70641777

9. Maddatuang
Jl. Pemuda II Rw:02/Rt: 005 no. 23
HP. 0856-56244888
email: maddatuang@qmail.com

10. Afen Sena
Rumah&Kantor
Komp. Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI)
Curug - Tangerang
Banten
HP. 0817-6487296
Email: afensena@mail.com

11. Mahyul
Bekas
HP. 0813-85887766

12. Chaira Saidah Yusrie
Vila Dago Alam Asri III blok J.21/2 Pamulang - Jakarta
HP. 0813-1335951
Emai: ira_yusrie@yahoo.co.id

13 Hidayat Mustafid
Padeglang - Banten
HP. 0812-9449343

14. Kadek Rihendra Dantes
Hj. Ten I No. 18
HP. 0818-05353547
Email: rihendra_dantes@yahoo.co.id

15. Margiyanto
Jl. Kumala No. 38, Kapuk Rt/Rw: 02/08
Cengkareng - Jakarta Barat

16. Amas Tadjuddin
Jl. Letan Jidun 10 Kepandean
Serang - Banteng
HP. 0812-8007597
Email: atadjuddin@yaho.com

17. Monda farida
Depok
Telp. 021-68931905
Email: manafaryda@yahoo.com

18. Echu Suryadi
Kantor
Dikdas Kodya - Jakarta Utara 021-4352793
Rumah
Jl. Bandar No. 19 Jakarta Utara 021-4390204
HP. 0819-32132910

19. Aminnudin Bakry
Jl. KH. Soleh Iskandar blok C5/3
Perum Taman Sari - Bogor
HP. 0813-54747447
Email: aminbkry@yahoo.com

20. Jonni Madrizal
Perum Reni Jaya Blok A 11/9 Sawangan Depok
HP. 0856-64350326
Email: mardizal@yahoo.com

21. Haerun A
Jl. Pemuda
HP. 0813-41603066

22. Jaswane Malau
Kantor
Jl. Pintu I, Senayan Jakarta Pusat
Rumah
Jl. Pekapuran No. 28 Rt/Rw: 02/01 Depok
HP. 013-86500700
Email. jawanemalau@yahoo.com

23. Desmon Parlindungan Sianipar
Jl. Taman Mangu Indah C.4/12
Jurang Mangu Barat - Pondok Aren
Bintaro - Jakarta Barat
HP. 0811-872695

24. Neti Karnati
Jl. Melon Raya No. 7
Taman Wsman Asri - Bekasi
HP. 0813-10854112

25. Mufti Ma'Sum
VIP E16/36 Bekasi
HP. 0815-9227885
Email: mufti.maksum@yahoo.com

*) Note: Mohon maaf manakala masih dijumpai kesalahan data. Untuk perbaikan silahkan dikirimkan koreksinya pada e-mail: afensena@mail.com

TUGAS PAPER- MATA KULIAH FILSAFAT ILMU (TUGAS I)

Dosen : Prof Dr Amos N
Deskripsi: Susun makalah dengan topik KAITAN ILMU DAN MORAL
3-5 Halaman, dikumpulkan minggu depan, yang terbaik akan dipresentasikan (senin, 15 Sept 2008)

HARAP DIKERJAKAN DENGAN SUNGGUH SUNGGUH.......

DISTRIBUSI kELOMPOK MATAKULIAH FILSAFAT ILMU (DOSEN PROF DR AMOS NEOLAKA)

KELOMPOK I
1. Hidayat
2.Kadek
3.Margiyanto
4.Amas Tajuddin
5. Mona Farida

KELOMPOK II
1.Enchu Suryadi
2. Aminuddin
3. Joni Mardizal
4. Haera Saeda
5. Jawane Malau


KOLOMPOK III
1. Ketut
2. Ahmad Fauzin
3. Arwan
4. Netty
5. Siti Rohana


KELOMPOK IV
1. Charles Manalu
2. Kliwan
3. Madatuang
4. Afen Sena
5. Mahyul

KELOMPOK V
1. Desmon P Sianipar
2. Maya Malau
3. Solahi
4. Haerun A
5. Mufti Ma'sum

*) Mohon maaf manakala ada salah ejaan nama
*) Anggota baru akan disesuaikan kemudian

DISTRIBUSI KELOMPOK PADA MATA KULIAH ISU ISU KRITIS DALAM PENDIDIKAN (Dosen: Prof Dr Sucipto & Dr Rozi A Sabil SPd, SE, MBA)

Kelompok I ( Ahmad Fauzi dan Solahi)
Kelompok II ( Arwan dan Jawane Malau)
Kelompok III ( Maya Malau dan Charles)
Kelompok IV ( Siti Rohana dan Mona Farida)
Kelompok V (Kliwan dan Ketut)
Kelompok VI (Madatuang dan Aminuddin)
Kelompok VII (Afen Sena dan Kadek)
Kelompok VIII ( Mahyul dan Haera Saeda)
Kelompok IX (Hidayat Mustafa dan Amas Tajuddin)
Kelompok X (Margiyanto dan Enchu)
Kelompok XI (Joni M dan Haerun)
Kelompok XII (Desmon Parlindungan S dan Netty Karnati)

Note :
1. Dimohon segera dalam kesempatan pertama mengumpulkan sedikitnya 2 topik untuk isu kritis disertai dengan frame berfikirnya untuk dijadikan sebagai topik bahasan.
2. Penyesuaian lebih lanjut akan diatur kemudian.
3. Mohon maaf manakala ada salah ejaan nama.

DISTRIBUSI KELOMPOK PADA MATA KULIAH KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN PEDAGOGIK DALAM PEDAGOGIK KONTEMPORER (Prof Dr HAR Tilaar)

KELOMPOK I (Topik : Kebijakan Pendidikan dan Pedagogik Kritis -Dipaparkan tanggal 21 Nov 2008)
1. Hidayat
2.Kadek
3.Margiyanto
4.Amas Tajuddin
5. Mona Farida
6. Desmon P Sianipar

KELOMPOK II ( Topik : Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik - Dipaparkan tanggal 28 Nov 2008)
1.Enchu Suryadi
2. Aminuddin
3. Joni Mardizal
4. Haera Saeda
5. Jawane Malau
6. Maya Malau

KOLOMPOK III (Topik: Kebijakan Pendidikan dan Desentralisasi - Dipaparkan tanggal 5 Desember 2008)
1. Ketut
2. Ahmad Fauzin
3. Arwan
4. Netty
5. Siti Rohana
6. Solahi

KELOMPOK IV (Topik : Kebijakan Pendidikan dan Globalisasi- Dipaparkan Tanggal 12 Desember 2008)
1. Charles Manalu
2. Kliwan
3. Madatuang
4. Afen Sena
5. Mahyul
6. Haerun A
7. Mufti Ma'sum


*) Mohon maaf manakala ada salah ejaan nama
*) Anggota baru akan disesuaikan kemudian

Sabtu, 06 September 2008

MANAJEMEN STRATEGIS-Kepemimpinan Pendidikan(Recommended to Read Book)

Tony Bush & Marianne Coleman,2008,IRCiSoD, Jogjakarta

Semakin cerdasnya para konsumen dalam menilai mutu (quality) sebuah produk, otomatis menuntut para pelaku bisnis dan usaha apapun untuk semakin meningkatkan mutu produk dan sekaligus mutu servisnya. Karenanya, kalangan profesional menyadari betul pentingnya manajemen mutu agar bisa terus eksis dan terus maju ditengah ketatnya persaingan global dan industrial dewasa ini.

Tak terkecuali produk dunia pendidikan. Kualitas mutu dan jasa yang disajikan oleh
lembaga pendidikan akan sangat menetukan kemampuan survivalnya diantara jubelan pesaing yang ada. Muali dari tingkat pra-TK (play goup) hingga perguruan tinggi dan lembaga-lembaga informasi lainnya (seperti lembaga kursus,privat,dan pendidikan kejuruan).

Salah satu aspek penting yang menentukan kualitas mutu pendidikan terletak pada manajemen kepemimpinannya. Diperlukan manajemen strategis kepemimpinan pendidikan yang benar-benar cakap, profesional, dan mampu bertindak efektif serta akurat. Ditangan kepala, direktur, manajer atau pemimpinnya, sebuah lembaga pendidikan akan bisamaju atau sebaliknya bangkrut dalam persaingan dunia pendidikan.

Buku ini merupakan dari seri manajemen mutu pendidikan setelah sebelumnya diterbitkan buku Total Quality Management in Education (Manajemen Mutu Pendidikan). Diharapkan dengan buku manajemen praktis ini, para pelaku pendidikan (dari tim manjemen, staf pengajar, hingga direksi) akan memahami betul teknik-teknik setrategis membangun kualitas mutu dan jasa pendidikan yang benar-benar Qualified dan kompetitif.

FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN

Dr.Redja Mudyaharjo

"PENDIDIKAN"hanyalah sebuah kata. Namun padanya ditimpukkan harapan dan tantangan. Mempersiapkan generasi masa depan yang unggul adalah dengan menyediakan perangkat pendidikan yang menunjang. Analisis kebutuhan, studi efektivitas, dan perumusan filosofi dasar sebuah sistem hanyalah sekian di antara tugas yang harus dikerjakan.

Pada buku ini, Redja Mudyahardjo, salah seorang staf pengajar UPI Bandung mencoba untuk merumuskan garis-garis besar landasan ilmu filosofi pendidikan. Menurutnya sistem pendidikn yang bermutu bergantung pada upaya seluk beluk ilmu pendidikan sebagai slah satu bentuk teori pendidikan. Redja menggambarkan filsafat ilmu secara umum dan filsafat ilmu pendidikan yang menjadi kajiannya. Ia pun meneliti metodologi ilmu yang berkembang pada abad 19 dan 20

MANIFESTO PENDIDIKAN NASIONAL

H.A.R. Tilaar

Perubahan besar dalam pemikiran manusia dalam globalisasi sekarang ini membawa dampak bagi pendidikan nasional Indonesia. Tidak bisa dunia pendidikan antiglobalisasi, tetapi disisi lain juga jangan sampai terhanyut perubahan-perubahan global dalam aru globalisasi tersebut.

Buku ini memaparkan perkembangan pemikiran atau konsep-konsep yang mempengaruhi proses pendidikan dalam masyarakat abad ke-21. Dibahas di dalam buku ini masalah-masalah seperti hakikat pendidikan, hak pendidikan dan kewajiban mendidik, proses pendidikan ruang pendidikan, serta teori pedagogik kontemporer. Juga penjelasan yang gamblang perihal agenda pendidikan tinggi di era globalisasi, penelitian dan pengembangan pendidikan nasional, konfusianisme sebagai etika global pendidikan dalam perspektif studi kultural.

FILSAFAT PENDIDIKAN-Manusia, Filsafat dan Pendidikan (Recommeded to Read Book)

Prof Dr H Jalaludin & Prof Dr Abdullah idi MEd, 2007, Ar Ruzz Media, Yogjakarta

Pendidikan dan kehidupan manusia merupakan dua hal identik yang tak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Hubungan keduanya ibarat tubuh dengan jiwa manusia: Jiwa berpotensi menggerakkan tubuh, sementara kehidupan manusia digerakkan oleh bandul pendidikan menuju tujuan hidup yang didambakan. Dengan pendidikan manusia memperoleh wawasan pengetahuan darimana asal usul kehidupan dan kejelasan orientasi kehidupannya. Tanpa pendidikan, bisa dipastikan manusia akan kehilangan ruh penggerak kehidupannya. dengan kata lain, hidup dan tujuan hidup dapat diraih jika pendidikan benar benar hidup.

Buku ini membahas persoalan assasiah filsafat pendidikan dalam hubungannya dengan kehidupan yang berakar pada kepribadian bangsa. Untuk selanjutnya, melalui berbagai kajian tentang pemikiran filsafat tentang pendidikan, diharapkan manusia baik sebagai individu, masyarakat maupun bangsa, dapat berkembang sesuai dengan hakikat asali, tujuan dan eksistensi kehidupan manusia, Jika filosofi pendidikan ini dirumuskan secara matang dan selanjutnya diaplikasikan secara benar, tentu saja kita tidak akan melihat kelatenan karut marut nya sistem pendidikan di negeri ini. namun sayang, selama ini landasan filsafat pendidikan kita hanya menjadi landasan imajener.

PUBLIC POLICY (Must Read Book)

Dr.Riant Nugroho, 2008, Elex Media Komputindo, Jakarta

Keunggulan suatu negara semakin ditentukan oleh kemampuan negara tersebut untuk mengembangkan kebijakan publik yang unggul. Premis inilah yang dipromosikan Dr.Riant Nugroho dalam buku Public Policy ini. Keyakinan intelektual ini didasarkan pada proses reformasi di sejumlah negara berkembang , dengan kasus khusus indonesia, yang berakhir dengna pendalaman politik demikrasi (democratic deepening) tetapi tertinggal dalam pengembangan excellence public policy. Kebijakan publik adalah keputusan strategisyang membawa ke mana negara dan seisinya dibawa.

Masalah , pemahanam kebijakan publik sering berhenti di tataran filisofis dan teknis. Kebijakan publik kehilangan pemahaman strategisnya. senagai contoh, di Indonesia kebijakan publik sering dipahami sebagai keputusan eksekutif yang merupakan point of view atau visi atau turunan efeolodi dari penguasa. Pada tingga ekstrem, kbijakan publik "jatuh" sebagai selera kekuasaan. Di sisi lain, kbeijakan publik dipahami dalam konteks yang teramat teknis sebagai produk hukum semata sehingga kebijakan publik adalah produk negera untuk mengatur rakatnya. Pertanyaan: dimana unsur publiknya? Buku ini memberikan pemahanam filosofis , strategis, dan tekis dalam sebuah kesatuan.

Buku ini dimulai dari pemahaman bahwa ada dua pemahaman kebijakan publik. Pertama pemahaman kontinentalis yang melhat bahwa kebijakan publik adalah produk dari negera, atau produk hukum, sehingga pelibatan publik cenderung bersifat semu. Model ini memahami kebijakan publik sebagai fakta yang sangat berjenjang. Undang-undang memerlukan peraturan penjelesan atau pelaksana untuk dapat dilaksanakan. Oleh karena itu, setelah kebijakan dalam bentuk UU ditetapkan, barulah UU itu dapat dilaksanakan bahakan hingga setahun-dua tahun setelahnya.

Kedua, pemahanam Anglo-Saxonis, yang melihat kebijakan publik sebagai suatu proses politik-daripada proses hukum, sebagaimana pemahan kontinentalis sehingga kebijakan merupakan kontrak sosial antara negara dan rakyat. Pada model ini, satu kebijakan seperti UU telah bersifat lengkap sehingga untuk implementasiya tidak memerlukan kebijakan penjelas atu pelaksana.

kebijakan kontinentalis berasal dari Eropa daratan, dan di Indonesia dipengaruhi oleh sistem administrasi Belanda. Kebijakan Anglo Saxonis dipengaruhi oleh pemikiran Inggris yang berkembang di Amerika, dan menjadi model di sebagian besar negarapersemakmuran atau bekas jajahan Inggris. Indonesia teyata, meskipun telah merdeka dari penjajahan tetap menggunakan sistem administrasi Belanda, dengan tetap dominannya model kebijakan publik ala Belanda di Indonesia.

Buku ini memberikan gambaran bahwa kebijakan publik adalah pilar kelima dalam kehidupan bernegara, setelah eksekutif, legeslatif, yudikatif dan pers. Perssebenarnya dijadikan fourth estate, namun sejak menjadi komoditi atau mengalami proses komodifikasi, tidak lagi mampu memerani fungsi kritis dan idealis. Pilar kelima yang diharapkan dapat menyangga adalah kebijakan publik dengan sentrum analis-analis kebijakan.

Dengan muatan yang merentang, dari pemahaman teori, manajemen atau strategi, dan praktik kebijakan publik, buku ini relevan bagi para pengajar atau akademisi, mahasisiwa, baik pada jenjang sarjana, pascasarjana, maupun doktoral, hingga praktisi kebijakan publik di tingkat nasional hingga daerah.

FILSAFAT ILMU (Recommended to Read Book)

Prof Dr Amsal Bakhtiar MA, 2004, Penerbit Rajagrafindo Pustaka, Jakarta

"Filsafat adalah induk semua ilmu" demikianlah kata para filosofis. Pada awalnya, memang cakupan obyek filsafat lebih luas dibandingkan dengan ilmu; ilmu hanya terbatas pada persoalan empiris saja, sedangkan filsafat mencakup obyek empiris maupun non empiris. namun pada perkembangannya, filsafat berkembang menjadibagian dari ilmu itu sendiri (terspesialisasi), seperti filsafat agama, filsafat hukum dan filsafat ilmu. Alasannya, filsafat tidak bisa terus berada di awang awang, tetapi ia juga harus membimbing ilmu.

Dengan perkembangan yang sangat pesat, ilmu semakin jauh dari induk bahkan, telah mengakibatkan munculnya arogansi dan kompartementalisasi antara astu bidang ilmu dengan yang lainnya. Disinilah filsafat berperan, yaitu menyatukan visi keilmuan dari berbagai disiplin ilmu.Dalam konteks ini, ilmu sebagai kajian filsafat sangat krusial untuk dibahas.

Buku ini merupakan buku wajib mata kuliah filsafat ilmu di Fakultas Ushuludun dan Filsafat UIN Jakarta. Pokok bahasan yang mencakup sejarah dan perkembang ilmu, obyek, metode dan tujuan ilmu, serta hakikat sumber ilmu pengetahuan dan kriteria kebenaran. tak ketinggalan pembahasan sarana ilmiah. Pembahasan ini penting agar mahasiswa:(1) lebih kreatif dan inovatif dalam berfikir sesuai dengan aturan ilmiah (2) memberikan spirit bagi perkembangan dan kemajuan ilmu sekaligus nilai nilai moral yang terkandung dalam setiap ilmu, baik ontologis, epistemologis maupun aksiologis; (3) menyadari bahwa ilmu yang diperoleh jauh dari mencukupi.

LANDASAN KEPENDIDIKAN-Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia (Must Read Book)

Prof. Dr. Made Pidarta,2007, Rineka Cipta, Jakarta

Kualitas SDM sangat dipengaruhi oleh pendidikan. Dengan demikian bidang pendidikan adalah bidang yang manjadi tulang punggung pelaksaknaan pembangunan nasional.

Tujun pendidikan, khususnya di Indonesia adalah membentuk manusia seutuhnya yang Pancasilais, dimotori oleh pengembangan afeksi. Tujuan khusus ini hanya bisa ditangani dengan ilmu pendidikan bercorak Indonesia sesuai dengan penyelenggaraan pendidikan yang memakai konsep sistem.

Buku ini memuat tujuh landasan pokok bagi konsep dan praktek pendidikan sehari-hari, yang dapat digunakan sebagai tempat berpijak dalam merumuskan ilmu pendidikan bercorak indonesia. Suatu ilmu yang cocok untuk mengembangkan manusia Indonesia yang memiliki kebudayaan dan geografi, serta cita-cita tersendiri. Konsep di dalamnya didasarkan pada penelitian-penelitian pendidikan yang berkesinambungan, dengan mempertimbangkan landasan hukum, filsafat, sejarah, sosial, budaya, psikologi, ekonomi, dan profesionalisme pendidikan.

LANDASAN DAN ARAH PENDIDIKAN NASIONAL KITA (Must Read Book)

Pof Dr Soedijarto MA, 2008, Penerbit Buku Kompas, Jakarta

Harus diakui, pendidikan di indoesia kalah maju dibandingkan dengan negara tetangga. Di mana letak kesalah dan apa yang bisa diperbuat untuk memperbaiki situasi ini?

Penulis yang banyak banyak menggeluti pengembangan pendidikan serta melakukan komparasi degan negara maju memberikan saran dan kritiknya di buku ini. Mulai dari pembangunan sekolah sebagai pusat pembudayaan, sistem kurikulum dan tuntutan dunia yang mengglobal, kontroversi ujian nasional, hingga profesionalisme guru yang harus dibangun secara konsisten.

Itulah sebagai dari banyak lagi pertanyaan yang dijawab oleh Prof. Dr. H Soedijarto, M.A., maka membaca buku ini, kita akan mengetahui secara persis duduk perkara problem pendidikan dari SD sampai perguruantinggi.

Pengambilan kebijakan di bidang pendidikan, pendidik, orang tua, dan mereka yang menggeluti pendidikan patut membaca buku ini.

(Tulisan :Wajib belajar dan peran negara, empat pilar pendidikan, Arah kurikulum, Ujian Nasional, Profesionalitas guru, anggaran Pendidikan dan, Akreditasi nasional)

KEBIJAKAN PENDIDIKAN-Pengantar Untuk Memahami Kebijakan Pendidikan Dan Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik (Must Read Book)

Prof.Dr.HAR Tilaar & Dr. Riant Nugroho, 2008, Pustaka Pelajar, Yogjakarta

Buku ini dilahirkan karena pengamatan kedua penulis terhadap keadaan pendidikan nasional dewasa ini yang kurang menjanjikan. Kedua penulis melihat adanya kebijakan pendidikan yang tidak konsisten yang dapat berakibat fatal terhadap pembinaan generasi muda Indonesia dan nasib negara/ bangsa Indonesia.
Dunia dewasa ini berkembang dengan sangat pesat yang perlu diikuti oleh strategi pendidikan nasional yang tepat pula agar dapat terbinanya sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas sehingga dapat mempertahankan diri dari arus perubahan glogal.Pemahaman mengenai kebijakan pendidikan dan kebijakan publik telah merupakan suatu kebutuhan dalam masyarakat Indonesia yang modern.
armada tenaga profesional pendidik yang sangat besar dapat membentuk kelompok intektual organis yang maha dahsyat kekuatanya sebagai agen perubahan masyarakat Indonesia abad 21.
Premis buku ini adalah kebijakan pendidikan yang unggul adalah keharusanbagi Indonesia. Untuk itu, strateginya adalah menjadikan kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik, dan tidak semata mata menjadi bagian dari kebijakan publik.

DESKRIPSI MATA KULIAH PPs 607 ISU ISU KRITIS DALAM PENDIDIKAN

Dosen : Prof Dr Sucipto & Dr Rozi A Sabil
1. Tujuan :
Mahasiswa mempunyai kesadaran akan berbagi masalah dalam filosofi, teori, riset dan praktek dalam memfungsikan sistem pendidikan nasional untuk merealisasikan cita cita proklamasi. mahasiswa mampu secara aktif memilah milah masalah masalah tersebut melalui penyigian (kontemplasi) sehingga ditemukan issue yang kritis untuk dikaji secara mendalam baik secara kelompok maupun perorangan.
2. Evaluasi:
a. Mahasiswa dievaluasi atas 5 jenis performance-nya:
1) Test Pertengahan Semester 20%
2) Test Akhir Semester 30 %
3) Tugas dan Presentasi Kelompok 20 %
4) Position paper perorangan 25%
5) Peratisipasi & Kehadiran 5 %
b. Nilai Akhir
1) 85-100 A
2) 75-84 B
3) 65-74 C
4) Less 65 F (gagal)
3.Prosedur Perkuliahan:
a.Pertemuan Pertama Kuliah:
i. Perkenalan
ii. Penjelasan tentang prosedur kegiatan satu semester
iii.Penjelasan awal tentang isu kritis dalam pendidikan dan literatur minimal yang perl dibaca
iv.Brainstroming tentang isu kritis dalam jadwal pendidikan
v. KLasifikasi dan pembagian tugas serta jadwal presentasi
b.Pertemuan selanjutnya
Berdasarkan pembagian tugas pada 3.a
4.Daftar Bacaan
  • Friedman, T.L.Longitudes and Attitudes. New York : Anchor Books,2003
  • Friedman, T.L. The Lexus and The Olive Tree. New York: Farrar, Straus and Giroux, 1999
  • Fullan, M. The New Meaning of EDUCATION Change. New York: Teachers College Press, 2007
  • Kouzes, J.M. and Posner B.Z Leadership Challenge. San Francisco: Jossey Bass, 2002
  • Li Lanqing. Education for 1.3Billion. Beijing: Foreign Language Teaching and Research press, 2005
  • semua dokumentasi yang diperlukan (buku,tulisan, statistik, opini, kebijaksanaan) tentang pendidikan nasional yang diperlukanutuk melaksanakan tugas 2.a.iii dan 2.a.iv., baik ditulis pribadi, pemerintah maupun lembaga donor (mis. World Bank, USAID, UNESCO)
  • Stiglitz, J. Making Globalization Work. London: Penguin Books Ltd., 2006

DESKRIPSI MATA KULIAH PPS 608 KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN PENDIDIKAN DALAM PEDAGOGI KONTEMPORER

Deskripsi : Kaian mengenai tujuan pendidikan serta kaitannya dengan permusan kebijakan pendidikan (education policy) serta tahap-tahap pelaksanaannya dalam manajemen pendidikan. Persamaan dan perbedaan manajemen pendidikan dengan manajemen dalam bidang ekonomi/bisnis dengan bertitik tolak dari paradigma pendidikan, khususnya pedagogi kontemporer

Dosen: Prof.Dr. HAR Tilaar

Buku Wajib:
1. HAR Tilaar & Riant Nugoroho, 2008, Kebijakan Pendidikan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
2. HAR Tilaar,2005, Manifesto Pendidikan Nasional, Geamedia, Jakarta
3. HAR Tilaar, 2002, Perubahan Sosial dan Pendidikan, Gramedia, Jakarta
4. Riant Nugroho, 2008, Public Policy, Elex Media Komputindo, Jakarta
5. The Jossey-Bass Reader an Education Mangement, 2000, John Willey & sons, New York
6. Buku-buku wajib lainya dalam diskusi kelas

JADWAL PERKULIAHAN PASCA SARJANA- UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA (UNJ) - SEMESTER GANJIL 2008/2009 - MANAJEMEN PENDIDIKAN (A) SEMESTER I

Senin : (10.30-12.45) PPs 601 FILSAFAT ILMU II (3 SKS)
Prof.Dr.Amos Neolaka R.109
(13.00-15.15) PPs 602 METODOLOGI PENELITIAN LANJUT (3 SKS)
Prof.Dr.I Made Putrawan/ Dr. Ma'ruf Akbar (R106)
Kamis: (13.00-15.15) FILSAFAT PENDIDIKAN (3 SKS) - Bagi Mahasiswa Asal Non-Pendidikan
Prof. Ismail Arianto
Jumat: (08.00-10.15) PPs 608 KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN PENDIDIKAN DAKAM PEDAGOGI KONTEMPORER(3 SKS)
Prof.Dr. HAR Tilaar R.108
(13.00-15.15) PPs 607 ISU ISU KRITIS DALAM PENDIDIKAN (3 SKS)
Prof.Dr.Sucipto/ Dr. Rozi A Sabil, SPd, SE, MBA

Jadwal Berlaku 1 September-31 Desember 2008.

Kontak HP:
Prof. Dr. Sucipto (0811944716)
Dr. Rozi A Sabil, SPd, SE, MBA (0811183373)