Minggu, 09 November 2008

Pendidikan Berwawasan Global

Krisis demi krisis mulai dari moneter, ekonomi, politik dan kepercayaan yang tengah melanda bangsa Indonesia, merupakan bukti bahwa sebagai bangsa kita sudah terseret dalam arus globalisasi. Informasi bergerak sedemikian cepat sehingga menimbulkan dampak yang berantai. Demonstrasi menduduki bandara cepat menjadi mode, misalnya.

Pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan globalisasi. Pendidikan tidak mungkin menisbikan proses globalisasi yang akan mewujudkan masyarakat global ini. Dalam menuju era globalisasi, Indonesia harus melakukan reformasi dalam proses pendidikan, dengan tekanan menciptakan sistem pendidikan yang lebih komprehensif dan fleksibel, sehingga para lulusan dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan masyarakat global demokratis. Untuk itu, pendidikan harus dirancang sedemikian rupa yang memungkinkan para peserta didik mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam suasana penuh kebebasan, kebersamaan dan tanggung jawab. Di samping itu, pendidikan harus menghasilkan lulusan yang dapat memahami masyarakatnya dengan segala faktor yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun penghalang yang menyebabkan kegagalan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu altematif yang dapat dilakukan adalah mengembangkan pendidikan yang berwawasan global.

Premis untuk memulai pendidikan berwawasan gobal adalah bahwa informasi dan pengetahuan tentang bagian dunia yang lain harus mengembangkan kesadaran kita bahwa kita akan dapat memahami lebih baik keadaan diri kita sendiri apabila kita memahami hubungan dengan masyarakat lain dan isu-isu global sebagaimana dikemukakan oleh Psikolog Csikszentmihalyi dalam bukunya The Evolving Self: A Psychology for the Third Millenium, 1993, yang menyatakan bahwa perkembangan pribadi yang seimbang dan sehat memerlukan "an understanding of the complexities of an increasingly complex and interdependent world".

A. Perspektif kurikuler

Pendidikan berwawasan global dapat dikaji berdasarkan dua perspektif: Kurikuler dan perspektif Reformasi. Berdasarkan perspektif kurikuler, pendidikan berwawasan global merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan untuk mempersiapkan tenaga terdidik kelas menengah dan profesional dengan meningkatkan kemampuan individu dalam memahami masyarakatnya dalam kaitan dengan kehidupan masyarakat dunia, dengan ciri-ciri: a) mempelajari budaya, sosial, politik dan ekonomi bangsa lain dengan titik berat memahami adanya saling ketergantungan, b) mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan untuk dipergunakan sesuai dengan kebutuhan lingkungan setempat, dan, c) mengembangkan berbagai kemungkinan berbagai kemampuan dan keterampilan untuk bekerjasama guna mewujudkan kehidupan masyarakat dunia yang lebih baik.

Oleh karena itu, pendidikan berwawasan global akan menekankan pembahasan materi yang mencakup: a) adanya saling ketergantungan di antara masyarakat dunia, b) adanya perubahan yang akan terus berlangsung dari waktu ke waktu, c) adanya perbedaan kultur di antara masyarakat atau kelompok-kelompok dalam masyarakat oleh karena itu perlu adanya upaya untuk saling memahami budaya yang lain, d) adanya kenyataan bahwa kehidupan dunia ini memiliki berbagai keterbatasan antara lain dalam ujud ketersediaan barang-barang kebutuhan yang jarang, dan, e) untuk dapat memenuhi kebutuhan yang jarang tersebut tidak mustahil menimbulkan konflik-konflik.

Berdasarkan perspektif kurikuler ini,pengembangan pendidikan berwawasan global memiliki implikasi ke arah perombakan kurikulum pendidikan. Mata pelajaran dan mata kuliah yang dikembangkan tidak lagi bersifat monolitik melainkan lebih banyak yang bersifat integratif. Dalam arti mata kuliah lebih ditekankan pada kajian yang bersifat multidispliner, interdisipliner dan transdisipliner.

B. Perspektif reformasi

Berdasarkan perspektif reformasi, pendidikan berwawasan global merupakan suatu proses pendidikan yang dirancang untuk mempersiapkan peserta didik dengan kemampuan dasar intelektual dan tanggung jawab guna memasuki kehidupan yang bersifat sangat kompetitif dan dengan derajat saling ketergantungan antar bangsa yang amat tinggi. Pendidikan harus mengkaitkan proses pendidikan yang berlangsung di sekolah dengan nilai-nilai yang selalu berubah di masyarakat global. Oleh karena itu sekolah harus memiliki orientasi nilai, di mana masyarakat kita harus selalu dikaji dalam kaitannya dengan masyarakat dunia.

Implikasi dari pendidikan berwawasan global menurut perspektif reformasi tidak hanya bersifat perombakan kurikulum, melainkan juga merombak sistem, struktur dan proses pendidikan. Pendidikan dengan kebijakan dasar sebagai kebijakan sosial tidak lagi cocok bagi pendidikan berwawasan global. Pendidikan berwawasan global harus merupakan kombinasi antara kebijakan sosial disatu sisi dan disisi lain sebagai kebijakan yang mendasarkan pada mekanisme pasar. Oleh karena itu, sistem dan struktur pendidikan harus bersifat terbuka, sebagaimana layaknya kegiatan yang memiliki fungsi ekonomis.

Kebijakan pendidikan yang berada di antara kebijakan sosial dan mekanisme pasar, memiliki arti bahwa pendidikan tidak semata ditata dan diatur dengan menggunakan perangkat aturan sebagaimana yang berlaku sekarang ini, serba seragam, rinci dan instruktif. Melainkan, pendidikan juga diatur layaknya suatu Mall, adanya kebebasan pemilik toko untuk menentukan barang apa yang akan dijual, bagaimana akan dijual dan dengan harga berapa barang akan dijual. Pemerintah tidak perlu mengatur segala sesuatunya dengan rinci.

Di samping itu, pendidikan berwawasan global bersifat sistemik organik, dengan ciri-ciri fleksibel-adaptif dan kreatif-demokratis. Bersifat sistemik-organik berarti sekolah merupakan sekumpulan proses yang bersifat interaktif yang tidak dapat dilihat sebagai hitam-putih, melainkan setiap interaksi harus dilihat sebagai satu bagian dari keseluruhan interaksi yang ada.

Fleksibel-Adaptif, berarti pendidikan lebih ditekankan sebagai suatu proses learning dari pada teaching. Peserta didik dirangsang memiliki motivasi untuk mempelajari sesuatu yang harus dipelajari dan continues learning. Tetapi, peserta didik tidak akan dipaksa untuk mempelajari sesuatu yang tidak ingin dipelajari. Materi yang. dipelajari bersifat integrated, materi satu dengan yang lain dikaitkan secara padu dan dalam open-system environment. Pada pendidikan ini karakteristik individu mendapat tempat yang layak.

Kreatif-demokratis, berarti pendidikan senantiasa menekankan pada suatu sikap mental untuk senantiasa menghadirkan sesuatu yang baru dan orisinil. Secara paedogogis, kreativitas dan demokrasi merupakan dua sisi dari mata uang. Tanpa demokrasi tidak akan ada proses kreatif, sebaliknya tanpa proses kreatif demokrasi tidak akan memiliki makna.

Untuk memasuki era globalisasi pendidikan harus bergeser ke arah pendidikan yang berwawasan global. Dari perspektif kurikuler pendidikan berwawasan global berarti menyajikan kurikulum yang bersifat interdisipliner, multidisipliner dan transdisipliner. Berdasarkan perspektif reformasi, pendidikan berwawasan global menuntut kebijakan pendidikan tidak semata sebagai kebijakan sosial, melainkan suatu kebijakan yang berada di antara kebijakan sosial dan kebijakan yang mendasarkan mekanisme pasar. Oleh karena itu, pendidikan harus memiliki kebebasan dan bersifat demokratis, fleksibel dan adaptif.

Praktek Pendidikan Berwajah Ke-indonesia-an

Pendidikan dalam arti luas adalah proses yang berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan pada diri seseorang tiga aspek dalam kehidupannya, yakni, pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup. Upaya untuk mengembangkan ketiga aspek tersebut bisa dilaksanakan di sekolah, luar sekolah dan keluarga. Kegiatan di sekolah direncanakan dan dilaksanakan secara ketat dengan prinsip-prinsip yang sudah ditetapkan. Pelaksanaan di luar sekolah, meski memiliki rencana dan program yang jelas tetapi pelaksanaannya relatif longgar dengan berbagai pedoman yang relatif fleksibel disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi lokal. Pelaksanaan pendidikan dalam keluarga dilaksanakan secara informal tanpa tujuan yang dirumuskan secara baku dan Tertulis.

Dengan mendasarkan pada konsep pendidikan tersebut di atas, maka sesungguhnya pendidikan merupakan pembudayaan atau "enculturation", suatu proses untuk mentasbihkan seseorang mampu hidup dalam suatu budaya tertentu. Konsekuensi dari pemyataan ini, maka praktek pendidikan harus sesuai dengan budaya masyarakat akan menimbulkan penyimpangan yang dapat muncul dalam berbagai bentuk goncangan-goncangan kehidupan individu dan masyarakat.

Tuntutan keharmonisan antara pendidikan dan kebudayaan bisa pula dipahami, sebab praktek pendidikan harus mendasarkan pada teori-teori pendidikan dan giliran berikutnya teori-teori pendidikan harus bersumber dari suatu pandangan hidup masyarakat yang bersangkutan.

A. Praktek pendidikan modern

Bangsa Indonesia telah mengalami berbagai bentuk praktek pendidikan: praktek pendidikan Hindu, pendidikan Budhis, pendidikan Islam, pendidikan zaman VOC, pendidikan kolonial Belanda, pendidikan zaman pendudukan Jepang, dan pendidikan zaman setelah kemerdekaan (Somarsono, 1985). Berbagai praktek pendidikan memiliki dasar filosofis dan tujuan yang berbeda-beda. Beberapa praktek pendidikan yang relevan dengan pembahasan ini adalah praktek-praktek pendidikan modern zaman kolonial Belanda, praktek pendidikan zaman kemerdekaan sampai pada tahun 1965, dan praktek pendidikan dalam masa pembangunan sampai sekarang ini.

Praktek pendidikan zaman kolonial Belanda ditujukan untuk mengembangkan kemampuan penduduk pribumi secepat-cepatnya melalui pendidikan Barat. Diharapkan praktek pendidikan Barat ini akan bisa mempersiapkan kaum pribumi menjadi kelas menengah baru yang mampu menjabat sebagai "pangreh praja". Praktek pendidikan kolonial ini tetap menunjukkan diskriminasi antara anak pejabat dan anak kebanyakan. Kesempatan luas tetap saja diperoleh anak-anak dari lapisan atas. Dengan demikian, sesungguhnya tujuan pendidikan adalah demi kepentingan penjajah untuk dapat melangsungkan penjajahannya. Yakni, menciptakan tenaga kerja yang bisa menjalankan tugas-tugas penjajah dalam mengeksploitasi sumber dan kekayaan alam Indonesia. Di samping itu, dengan pendidikan model Barat akan diharapkan muncul kaum bumi putera yang berbudaya barat, sehingga tersisih dari kehidupan masyarakat kebanyakan. Pendidikan zaman Belanda membedakan antara pendidikan untuk orang pribumi. Demikian pula bahasa yang digunakan berbeda. Namun perlu dicatat, betapapun juga pendidikan Barat (Belanda) memiliki peran yang penting dalam melahirkan pejuang-pejuang yang akhirnya berhasil melahirkan kemerdekaan Indonesia.

Pada zaman Jepang meski hanya dalam tempo yang singkat, tetapi bagi dunia pendidikan Indonesia memiliki arti yang amat signifikan. Sebab, lewat pendidikan Jepang-lah sistem pendidikan disatukan. Tidak ada lagi pendidikan bagi orang asing degan pengantar bahasa Belanda.

Satu sistem pendidikan nasional tersebut diteruskan se telah bangsa Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Pemerintah Indonesia berupaya melaksanakan pendidikan nasional yang berlandaskan pada budaya bangsa sendiri. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk menciptakan warga negara yang sosial, demokratis, cakap dan bertanggung jawab dan siap sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara. Praktek pendidikan selepas penjajahan menekankan pengembangan jiwa patriotisme. Dari pendekatan "Macrocosmics", bisa dianalisis bahwa praktek pendidikan tidak bisa dilepaskan dari lingkungan, baik lingkungan sosial, politik, ekonomi maupun lingkungan lainnya. Pada masa ini, lingkungan politik terasa mendominir praktek pendidikan. Upaya membangkitkan patriotisme dan nasionalisme terasa berlebihan, sehingga menurunkan kualitas pendidikan itu sendiri. Hal ini sangat terasa terutama pada periode Orde Lama (tahun 1959-1965).

Praktek pendidikan zaman Indonesia merdeka sampai tahun 1965 bisa dikatakan banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan Belanda. Sebaliknya, pendidikan setelah tahun 1966 pengaruh sistem pendidikan Amerika semakin lama terasa semakin menonjol. Sistem pendidikan Amerika menekankan bahwa praktek pendidikan merupakan instrumen dalam proses pembangunan. Oleh karenanya, tidak rnengherankan kalau seiring dengan semangat dan pelaksanaan pembangunan yang dititik-beratkan pada pembangunan ekonomi, praktek pendidikan dijadikan alat untuk dapat mendukung pembangunan ekonomi dengan mempersiapkan tenaga kerja yang diperlukan dalam pembangunan. Dengan kata lain praktek pendidikan yang bersumber pada kebijaksanaan pendidikan banyak ditentukan guna kepentingan pembangunan ekonomi.

Perkembangan pendidikan nasional yang berkiblat pada pendidikan Amerika berkembang pesat dan menunjukkan hasil yang luar biasa. Namun perlu dicatat bahwa kecepatan perkembangan pendidikan nasional ini cenderung mendorong pendidikan ke arah sistem pendidikan yang bersifat sentralistis. Hal ini dapat ditunjukkan dengan semakin berkembangnya birokrasi untuk menopang proses pengajaran tradisional yang semuanya mengarah pada rigiditas. Birokrasi pusat cenderung menekankan proses pendidikan secara klasikal dan bersifat mekanistis. Dengan demikian proses pendidikan cenderung diperlakukan sebagaimana sebuah pabrik. Akibatnya pihak-pihak yang terkait dalam pendidikan, khususnya guru dan murid sebagai individu yang memiliki "kepribadian" tidak banyak mendapatkan perhatian kurikulum, guru dan aturan serta prosedur pelaksanaan pengajaran di sekolah dan juga di kelas ditentukan dari pusat dengan segala wewenangnya. Misalnya, keharusan mengajar dengan menggunakan pendekatan CBSA, kokurikuler dalam bentuk kliping koran.

Lebih lanjut, sentralisasi dan berkembangnya birokrasi pendidikan yang semakin luas dan kaku akan menjadikan keseragaman sebagai suatu tujuan. Hasilnya, berkembanglah manusia-manusia dengan mentalitas "juklak" dan "juknis" yang siap diberlakukan secara seragam. Akibat lebih jauh di masyarakat berkembang prinsip persetujuan sebagai kunci sukses; promosi dan komunikasi adalah komando; interaksi dicampurkan dengan pertemuan-pertemuan resmi; dan stabilitas yang dikaitkan dengan tindakan yang tidak mengandung emosi.

Karena kemerosotan kualitas pendidikan dikarenakan ketidak-mampuan organisasi sekolah menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan lingkungan sebagai akibat dari birokratisasi dunia, kualitas pendidikan yang bersifatsentralistis, maka untuk meningkatkan kualitas pendidikan harus didasarkan pada kebijaksanaan debirokratisasi dan desentralisasi.

Desentralisasi pendidikan merupakan suatu tindakan mendelegasikan wewenang kepada satuan kerja yang langsung berhubungan dengan peserta didik. Permasalahannya yang lebih mendalam yang perlu diperfanyakan adalah "apakah kebijaksanaan desentralisasi yang dilaksanakan untuk seluruh fungsi dan kekuasaan sekolah-sekolah ataukah hanya untuk pembagian tugas-tugas administrasi? Apakah kebijaksanaan desentralisasi hanya dilihat sebagai cara untuk mencapai efisiensi dengan mengurangi upaya untuk transformasi baik sistem maupun proses pendidikan?"

Kalau desentralisasi hanya sekedar mengurangi beban tanggung jawab di puncak kekuasaan dengan memberikan sebagian tugas-tugas administrasi kepada aparat yang lebih rendah maka desentralisasi tidak akan banyak artinya sebagai sarana peningkatan kualitas pendidikan. Dewasa ini ketidak-mampuan sekolah meningkatkan kualitas pendidikan mencerminkan ketidak-mampuan struktur dan sistem persekolahan. Kalau tidak ada perubahan yang mendasar pada sistem pendidikan, maka segala upaya peningkatan kualitas akan sia-sia. Oleh karena itu, kebijaksanaan yang diperlukan di dunia pendidikan kita sekarang ini adalah desentralisasi yang mendasar.

Ada beberapa tujuan yang perlu dicapai dengan kebijaksanaan desentralisasi. Pertama, sistem persekolahan harus lebih tanggap terhadap kebutuhan individu peserta didik, guru, dan sekolah. Kedua, iklim pendidikan harus menguntungkan untuk pelaksanaan proses pendidikan.

Di samping mempertanyakan kualitas output pendidikan yang berkiblat ke Arnerika ini, mulai dirasakan bahwa praktek pendidikan cenderung mendorong munculnya generasi terdidik yang bersifat materialistik, individualistik dan konsumtif. Hal ini sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari pengetrapan praktek pendidikan Amerika. Apalagi, pusat-pusat pendidikan yang lain, misalnya media komunikasi massa mendukung proses "Amerikanisasi" ini.

Adapula satu bentuk produk proses pendidikan yang sesungguhnya menyimpang dari apa yang terjadi di Barat yakni munculnya mentalitas "jalan pintas", dengan semangat dan kemauan untuk bisa mendapatkan hasil secepat mungkin, baik di kalangan generasi muda maupun generasi tuanya. Mereka cenderung tidak menghiraukan bahwa segala sesuatu harus melewati proses yang memerlukan waktu. Bahkan tidak jarang waktu yang diperlukan melewati rentang waktu kehidupannya, tetapi demi masa depan generasi yang akan datang generasi sekarang harus merelakannya. Sebagai contoh, di Barat tidak jarang pembuatan "minuman anggur", agar memiliki rasa luar biasa memerlukan waktu puluhan bahkan ratusan tahun. Tidak jarang pada label sebotol anggur dituliskan: "dibuka 100 atau 200 tahun lagi". Mentalitas "jalan pintas" merupakan hasil negatif dari penekanan yang berlebihan pendidikan sebagai instrumen pembangunan ekonomi. Aspek negatif lain yang erat kaitannya dengan mentalitas jalan pintas adalah dominannya nilai ekstrik (Extrinsic Value) di kalangan masyarakat kita, khususnya generasi muda.

Tekanan kemiskinan menimbulkan obsesi bahwa kekayaan merupakan obat yang harus segera diperoleh dengan segala cara dan dengan biaya apapun juga. Oleh karena tujuan segala kegiatan adalah "kekayaan", dan yang lainnya merupakan instrumental variabel untuk mencapai kekayaan tersebut. Oleh karena itu pendidikan, politik bahkan agama dijadikan sarana dan alat untuk mendapatkan kekayaan. Pendidikan, secara khusus, akan diberlakukan sebagai lembaga yang mencetak "tenaga kerja", bukan lembaga yang menghasilkan "manusia yang utuh" (the whole person). Konsep tersebut akan menimbulkan tekanan yang berlebihan pada hasil tanpa menikmati prosesnya. Sekolah dijalani oleh seseorang agar mendapatkan ijazah untuk bekerja. Proses sekolahnya sendiri tidak pernah dinikmati, karena tidak penting.

Dua mental tersebut bisa menjadi faktor yang akan merusak kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk mengembalikan kesadaran di kalangan masyarakat khususnya generasi muda; pentingnya pencapaian tujuan jangka panjang, memahami makna proses yang harus, dilalui dan menyadari akan pentingnya nilai-nilai yang harus muncul dari diri sendiri.

B. Pendidikan dan kebudayaan

Berbagai penyimpangan yang ada dalam masyarakat, misalnya membesarkan jumlah pengangguran, berkembangnya mentalitas jalan pintas, sikap materialistik dan individualistik, dominannya nilai-nilai ekstrinsik terutama di kalangan generasi muda, dari satu sisi bisa dikaitkan dengan kegagalan praktek pendidikan yang berkiblat ke Amerika. Dengan kata lain, praktek pendidikan yang kita laksanakan tidak atau kurang cocok dengan budaya Indonesia. Untuk itu, perlu dicari sosok bentuk praktek pendidikan yang berwajah Indonesia.

Pendidikan merupakan proses yang berlangsung dalam suatu budaya tertentu. Banyak nilai-nilai budaya dan orientasinya yang bisa menghambat dan bisa mendorong pendidikan. Bahkan banyak pula nilai-nilai budaya yang dapat dimanfaatkan secara sadar dalam proses pendidikan. Sebagai contoh di Jepang "moral Ninomiya Kinjiro" merupakan nilai budaya yang dimanfaatkan praktek pendidikan untuk mengembangkan etos kerja. Kinjiro adalah anak desa yang miskin yang belajar dan bekerja keras sehingga bisa menjadi samurai, suatu jabatan yang sangat terhormat. Karena saking miskinnya, orang tuanya tidak mampu membeti alat penerangan. Oleh karena itu dalam belajar ia menggunakan penerangan dari kunang-kunang yang dimasukan dalam botol. Kerja keras diterima bukan sebagai beban, melainkan dinikmati sebagai pengabdian. Selain semangat kerja keras, budaya Jepang juga menekankan rasa keindahan yang tercerminkan pada ketekunan, hemat, jujur dan bersih sebagaimana semangat Kinjiro diwujudkan dalam patung anak yang sedang asyik membaca sambil berjalan dengan menggendong kayu bakar di bahunya. Patung tersebut didirikan di setiap sekolah di Jepang.

Dalam kaitan ini perlu dipertanyakan adakah nilai-nilai dan orientasi budaya kita yang bisa dimanfaatkan dalam praktek pendidikan? Manakah nilai dan orientasi budaya yang perlu dikembangkan dan manakah yang harus ditinggalkan ?

Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut di atas perlu dilaksanakan serangkaian penelitian yang bersifat multidisipliner.

C. Penelitian pendidikan yang diperlukan

Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa ilmu pendidikan di Indonesia mandeg dan pendidikan kita yang lebih berwajah ke-Amerika-an hanya merupakan salah satu akibat kemandegan ilmu pendidikan. Kalau ditelusuri lebih jauh, kemandegan ilmu pendidikan disebabkan terutama karena kualitas penelitian pendidikan yang rendah. Dengan demikian upaya mencari pendidikan yang berwajah ke-indonesia-an harus disertai dengan peningkatan kualitas pendidikan.

Agenda penelitian untuk menemukan pendidikan yang berwajah ke-indonesia-an bisa dimulai dari penelitian untuk menemukan nilai-nilai dan orientasi budaya daerah (setempat) yang memiliki nilai positif bagi praktek pendidikan. Misalnya, nilai "Ratu adil di dukung, ratu zalim disanggah", adalah nilai yang mendukung keadilan sosial.

Kedua, penelitian yang membandingkan nilai-nilai yang berkaitan dengan proses pendidikan di rumah (keluarga) dan pendidikan di sekolah. Misalnya, nilai penekanan orang tua untuk memerintah langsung anak atau mendikte anak di satu pihak dan tekanan dalam proses belajar mengajar di sekolah. Sudah barang tentu kedua nilai tersebut bertentangan. Bagaimanakah akibatnya terhadap perkembangan anak didik?

Ketiga, penelitian yang menjawab makna konsep yang tercantum pada falsafah dan dasar negara. Misalnya, dalam alenia pembukaan UUD 1945 tercantum konsep "bangsa yang cerdas". Apa maknanya bangsa yang cerdas? Apakah makna kecerdasan sama antara masyarakat agraris dan masyarakat industri atau bahkan pada masyarakat informatif. Artinya, kecerdasan apakah yang harus dimiliki untuk menuju masyarakaat industri atau masyarakat yang dilanda globalisasi?

Keempat, penelitian yang mencari titik temu antara pendidikan sistem persekolahan dan pendidikan luar sekolah. Sebab, pada masyarakat industri hubungan antara kedua sistem pendidikan tersebut memiliki peran yang penting.

Kelima, penelitian yang memusatkan pada kebijaksanaan pendidikan. Misalnya, sejauh mana terdapat keterkaitan antara kebijaksanaan rayonisasi? Siapakah yang menikmati anggaran pemerintah di bidang pendidikan? Bagaimanakah penduduk miskin dapat menikmati pendidikan?

Keenam, penelitian yang mengkaji kecenderungan-kecenderungan yang akan terjadi di masa mendatang. Bagaimanakah dampak atas adanya kecenderungan tersebut bagi dunia pendidikan khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya? Bagaimanakah caranya agar kita bisa menguasai dan merubah kecenderungan tersebut?

Ketujuh, penelitian yang mengkaji peran dan interaksi berbagai pusat pendidikan. Misalnya, bagaimana hubungan yang harus dikembangkan antara sekolah dan TPI, sekolah dengan surat kabar dan radio?

Akhirnya, perlu dipikirkan adanya penerbitan dari Kelompok Kajian Pendidikan ke-indonesia-an sebagai media penyebaran pertukaran informasi dengan masyarakat luas.

Minggu, 02 November 2008

PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN AGAMA DALAM MASYARAKAT MULTIKULTURAL DI INDONESIA

PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN AGAMA DALAM MASYARAKAT MULTIKULTURAL DI INDONESIA

BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Isu
Pendidikan adalah proses perjumpaan (encounter) di dalam kehidupan pribadi menjadi anggota suatu masyarakat yang berbudaya. Dengan kata lain pendidikan merupakan proses interaksi hubungan kekuasaan dalam setiap kebudayaan. Tanpa pendidikan tidak mungkin suatu kebudayaan akan berlangsung dalam suatu komunitas.
Pendidikan dan pengajaran agama dinilai penting dalam era globalisasi dewasa ini. Agama merupakan bagian yang penting sekali di dalam kehidupan bersama manusia. Dari situlah manusia (kelompok manusia) memperoleh referensi yang menuntun tingkah lakunya di dalam suatu komunitas yang berbudaya. Tidak mengherankan apabila Huntington (1996) melihat pertarungan kekuasaan dalam kehidupan manusia masa depan ditentukan oleh pertarungan kebudayaan (clash of civilization) khususnya pertarungan antar agama. Hal ini disebabkan karena keyakinan agama dari seseorang menempati tempat yang apaling esensial dalam pribadi seseorang dengan Tuhan-nya dan antara pribadi dengan pribadi sesama penganut.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (3) berbunyi: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”.
Atas dasar amanat Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahan Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa strategi pertama dalam melaksanakan pembaruan sistem pendidikan nasional adalah “pelaksanaan pendidikan agama dan akhlak mulia”.
Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 37 ayat (1) mewajibkan Pendidikan Agama dimuat dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Pendidikan agama pada jenis pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, dan khusus disebut “Pendidikan Agama”. Penyebutan pendidikan agama ini dimaksudkan agar agama dapat dibelajarkan secara lebih luas dari sekedar mata pelajaran /kuliah agama. Pendidikan Agama dengan demikian sekurang-kurangnya perlu berbentuk mata pelajaran/mata kuliah Pendidikan Agama untuk menghindari kemungkinan peniadaan pendidikan agama di suatu satuan pendidikan dengan alasan telah dibelajarkan secara terintegrasi. Ketentuan tersebut terutama pada penyelenggaraan pendidikan formal dan pendidikan kesetaraan.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 12 ayat (1) huruf a mengamanatkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajar oleh pendidik yang seagama. Ketentuan ini setidaknya mempunyai 3 (tiga) tujuan, yaitu pertama, untuk menjaga keutuhan dan kemurnian ajaran agama; kedua, dengan adanya guru agama yang seagama dan memenuhi syarat kelayakan mengajar akan dapat menjaga kerukunan hidup beragama bagi peserta didik yang berbeda agama tapi belajar pada satuan pendidikan yang sama; ketiga, pendidikan agama yang diajarkan oleh pendidik yang seagama menunjukan profesionalitas dalam penyelenggaraan proses pembelajaran pendidikan agama.
Pendidikan keagamaan pada umumnya diselenggarakan oleh masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Jauh sebelum Indonesia merdeka, perguruan-perguruan keagamaan sudah lebih dulu berkembang. Selain menjadi akar budaya bangsa, agama disadari merupakan bagian tak terpisahkan dalam pendidikan. Pendidikan keagamaan juga berkembang akibat mata pelajaran/kuliah pendidikan agama yang dinilai menghadapi berbagai keterbatasan. Sebagian masyarakat mengatasinya dengan tambahan pendidikan agama di rumah, rumah ibadah, atau di perkumpulan-perkumpulan yang kemudian berkembang menjadi satuan atau program pendidikan keagamaan formal, nonformal atau informal.
Secara historis, keberadaan pendidikan keagamaan berbasis masyarakat menjadi sangat penting dalam upaya pembangunan masyarakat belajar, terlebih lagi karena bersumber dari aspirasi masyarakat yang sekaligus mencerminkan kebutuhan masyarakat sesungguhnya akan jenis layanan pendidikan. Dalam kenyataan terdapat kesenjangan sumber daya yang besar antar satuan pendidikan keagamaan. Sebagai komponen Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan keagamaan perlu diberi kesempatan untuk berkembang, dibina dan ditingkatkan mutunya oleh semua komponen bangsa, termasuk Pemerintah dan pemerintah daerah.

B. Konflik Isu
Dalam studi kultural, pendidikan dalam arti yang luas merupakan bagian yang sangat penting di dalam proses membudaya (Bourdieu & Passeron; Apple; Tilaar).
Agama adalah norma-norma dan susunan nilai yang diyakini menjadi pedoman tingkah laku manusia di dalam komunikasinya, terhadap sesama manusi, terhadap alam sekitar dan terhadap Tuhan-nya.
Pengajaran agama berkaitan dengan proses pendidikan dalam lembaga pendidikan formal dan non formal. Dalam Konsep Sisdiknas disebutkan bahwa, pengajaran agama yang juga disebut sebagai pendidikan agama harus diberikan di semua satuan pendidikan baik formal maupun non formal. Bahkan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah asing pun harus meberikan pelajaran agama dari pengajar yang seagama dengan dengan peserta didik.
Dari rumusan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional khususnya pada pasal 12 ayat 1 (a) tersebut muncul pertentangan di area publik yang garis besarnya adalah sebagian masyarakat mengusulkan agar pasal yang menghendaki keterlibatan negara dalam pendidikan agama dihapus, sebab akan menimbulkan anggapan turut campurnya negara dalam urusan privat warga. Pasal ini dinilai bertentangan dengan pasal 28e UUD 1945 tentang kebebasan tiap orang memilih pendidikan dan pengajaran. Pada sisi lain, muncul pendapat yang ingin mempertahankan pasal ini. Selain dinilai bisa menjamin bila anak didik akan mendapat pelajaran agama sesuai keyakinannya, pasal ini dianggap cukup akomodatif atas semua agama yang ada di Indonesia. Tak berlebihan bila di antara kelompok ini mengusulkan adanya sanksi bagi penyelenggara pendidikan yang melanggar ketentuan ini.

BAB II. KERANGKA TEORITIK
A. Konsep Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural secara inhern sudah ada sejak bangsa Indonesia ini ada. Falsafah bangsa Indonesia adalah bhineka tunggal ika, suka gotong royong, membantu, dan menghargai antar satu dengan yang lainnya.betapa dapat dilihat dalam potret kronologis bangsa ini yang sarat dengan masuknya berbagai suku bangsa asing dan terus berakulturasi dengan masyarakat pribumi. Misalnya etnis cina, etnis arab, etnis arya, etnis eropa, etnis afrika dan sebagainya. Semua suku itu ternyata secara kultural telah mampu beradaptasi dengan suku-suku asli negara Indonesia. Misalnya suku jawa, batak, minang, bugis, ambon, papua, suku dayak, dan suku sunda. Proses adaptasi dan akulturasi yang berlangsung di antara suku-suku tersebut dengan etnis yang datang kemudian itu, ternyata sebagian besar dilakukan dengan damai tanpa adanya penindasan yang berlebihan. Proses inilah yang dikenal dengan pendidikan multikultural. Hanya saja model pendidikan multikultural ini semakin tereduksi dengan adanya kolonialisasi di bibidang ploitik, ekonomi, dan mulai merambah ke bidang budaya dan peradaban bangsa.
Pendidikan multikultural memberikan secerah harapan dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Pendidikan multikultural, adalah pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai, keyakinan, heterogenitas, pluralitas dan keragaman, apapun aspeknya dalam masyarakat. Dengan demikian, pendidikan multikultural yang tidak menjadikan semua manusia sebagai manusia yang bermodel sama, berkepribadian sama, berintelektual sama, atau bahkan berkepercayaan yang sama pula.
Pendidikan multikultural menentang pendidikan yang beroreintasi bisnis. Pada saat ini, lembaga pendidikan baik sekolah atau perguruan tinggi berlomba-lomba menjadikan lembaga pendidikannya sebagai sebuah institusi yang mampu menghasilkan income yang besar. Dengan alasannya, untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada peserta didik. Padahal semua orang tahu, bahwa pendidikan yang sebenarnya bagi bangsa Indonesia bukanlah pendidikan keterampilan belaka, melainkan pendidikan yang harus mengakomodir semua jenis kecerdasan.yang sering dikenal dengan nama kecerdasan ganda (multiple intelligence).
Pendidikan multikultural sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada berbagai jenis kekerasan. Kekersan muncul ketika saluran kedamaian sudah tidak ada lagi. Kekerasan tersebut sebagai akibat dari akumulasinya berbagai persoalan masyarakat yang tidak diselesaikan secara tuntas dan saling menerima. Ketuntasan penyelesaian berbagai masalah masyarakat adalah prasyarat bagi munculnya kedamaian. Fanatisme yang sempit juga bisa meyebabkan munculnya kekerasan. Dan fanatisme ini juga berdimensi etnis, bahasa, suku, agama, atau bahkan sistem pemikiran baik di bidang pendidikan, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.Pertimbangan-pertimbangan itulah yang barang kali perlu dikaji dan direnungkan ulang bagi subjek pendidikan di Indonesia. salah satunya dengan mengembangkan model pendidikan multikultural. Yaitu pendidikan yang mampu mengakomodir sekian ribu perbedaan dalam sebuah wadah yang harmonis, toleran, dan saling menghargai. Inilah yang diharapkan menjadi salah satu pilar kedamaian, kesejahteraan, kebahagian, dan keharmonisan kehidupan masyarakat Indonesia. Dengan demikian Pendidikan multikultural merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktifitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non eropa.
Pada konteks Indonesia, perbincangan tentang konsep pendidikan multikultural semakin memperoleh momentum pasca runtuhnya rezim otoriter militeristik orde baru karena hempasan badai reformasi. Era reformasi ternyata tidak hanya membawa berkah bagi bangsa kita namun juga memberi peluang meningkatnya kecenderungan primordialisme. Untuk itu, dirasakan kita perlu menerapkan paradigma pendidikan multikultural untuk menangkal semangat primordialisme.
James banks (1994) menjelaskan:bahwa pendidikan multikultural memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan satu dengan yang lain”, yaitu: Pertama, Content integration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran atau disiplin ilmu. Kedua, the knowledge construction process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya kedalam sebuah mata pelajaran (disiplin). Ketiga, an equity paedagogy, yaitu menyusuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka mempasilitasi prestasi akademik siswa yang beragambaik dari segi ras, budaya, (culture ) ataupun sosial. Keempat, prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka.
Pendidikan multikulturalisme biasanya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Tujuanya membentuk” manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat berbudaya (berperadaban)”.2. Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusian, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis (cultural).3. Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalis).4. Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.
6. Dalam konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. dan yang terpenting dari strategi pendidikan multikultural ini tidak hanya bertujuan agar supaya siswa mudah memahami pelajaran yang dipelajarinya, akan tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran mereka agar selalu berprilaku humanis, pluralis, dan demokrasi.
Pendidikan dan masyarakat multikultural memiliki hubungan timbal balik (reciprocalrelayionship). Artinya, bila pada satu sisi pendidikan memiliki peran signifikan guna membangun masyarakat multikultural, disisi lain masyarakat multikultural dengan segala karakternya memiliki potensi signifikan untuk mensukseskan fungsi dan peran pendidikan.itu berarti, penguatan disatu sisi, langsung atau tidak langsung, akan memberi penguatan pada sisi lain. Penguatan terhadap pendidikan, misalnya dengan memperbaiki sistem dan mengefektifkan kegiatan belajar, akan menambah keberhasilan dalam membangun masyarakat multikultural. Disisi lain, penguatan pada masyarakat multikultural, yaitu dengan mengelola potensi yang dimiliki secara benar, akan menambah keberhasilan fungsi dan peran pendidikan umumnya. Implikasinya, dilakukannya penguatan pada kedua sisi secara simultan akan memberi hasil yang optimal, baik dari sisi peran pendidikan maupun pembangunan masyarakat multikultural sendiri.
Dalam konteks membangun masyarakat multikultural selain berperan meningkatkan mutu bangsa agar dapat duduk sama rendah, berdiri sama tinggi dengan negara-negara lain, pendidikan juga berperan memberi perekat berbagai perpedaan diantara komunitas kultural atau kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang budaya berbeda agar lebih meningkat komitmennya dalam berbangsa dan bernegara.Adapun perekat pendidikan yang dipakai ialah pembangunan karakter dan semangat kebangsaan atau Nation And Character Building (NCB). Dalam hal ini karakter kebangsaan merupakan penbembangan jati diri bangsa Indonesia yang pernah dikenal sebagai bangsa yang ramah, sopan, toleran, dan sebagainya. Sedangakan semangat kebangsaan adalah keinginan yang amat mendasar dari setiap komponen masyarakat untuk berbangsa.Karakter dan semangat seperti itu akan berkembang, baik secara natural maupun kultural, manuju tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa.Multikulturalisme merupakan suatu perkembangan yang relatif baru dalam khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial. Namun dengan demikian multikulturalisme terus berkembang sesuai dengan perubahan sosial yang dihadapi oleh umat manusia khususnya didalam era dunia terbuka dan era demokritisai kehidupan.
Pendidikan merupakan kebutuhan paling esensial bagi setiap manusia, negara, maupun pemerintah pada era reformasi ini, pendidikan harus selalu ditumbuhkembangkan secara sistematis oleh para pengambil kebijakan yang berwenang di negara ini. Transformasi dalam dunia pendidikan selalu harus diupayakan agar pendidikan benar-benar dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana telah diamanatkan oleh pendiri republik yang dituangkan dalam UUD 1945. Dengan demikian pendidikan tidak dapat dipisahkan dari perubahan sosial dan kehidupan manusia didalam berbgai kaitannya dengan masalah kebudayaan, maka pendidikan dalam multikulturalisme telah merupakn suatu realitas sosial yang akan dihadapi oleh dunia pendidikan dimasa-masa yang akan datang.Peran pendidikan didalam multikuklturalisme hanya dapat dimengerti didalam kaitannya dengan falsafah hidup, kenyataan sosial, yang akan melipuiti disiplin-disiplin ilmu yang lain seperti ilmu politik, filsafat, khususnya filsafat posmoderenisme, antropologi, dan sosiologi. Dalam hal ini dimaksudkan agar dalam perjalanan sejarah pendidikan multikultural nantinya tidak kehilangan arah atau bahkan berlawanan dengan nilai-nilai dasar multikulturalisme.
Orientasi yang seharunya dibangun dan diperhatikan antara lain meliputi:1. Orientasi kemanusiaan. Kemanusian atau humanisme merupakan sebuah nilai kodrati yang menjadi landasan sekaligus tujuan pendidikan. Kemanusian besifat universal, global, diatas semua suku, aliran, ras, golongan dan agama.2. Orientasi kebersamaan. Kebersamaan atau kooperativisme merupakan sebuah nilai yang sangat mulia dalam masyarakat yang plural dan heterogen. Kebersamaan yang hakiki juga akan membawa kepada kedamaian yang tidak ada batasannya. Tentunya kebersamaan yang dibangun disini adalah kebersamaan yang sama sekali terlepas dari unsur kolutif maupun koruptif. Kebersamaan yang dibangun adalah kebersamaan yang masing-maising pihak tidak merasa dirugikan dirinya sendiri, orang lain, lingkungan, serta negara.3. Orientasi kesejahteraan. Kesejahteraan atau welvarisme merupakan suatu kondisi sosial yang menjadi harapan semua orang. Kesejahteraan selama ini hanya dijadikan sebagai slogan kosong. Kesejahteraan sering diucapkan, akan tetapi tidak pernah dijadikan orientasi oleh siapapun. Konsistensi terhadap sebuah orientasi harus dibuktikan dengan prilaku menuju pada terciptanya kesejahteraan masyarakat.4. Orientasi profesional. Profesional merupakan sebuah nilai yang dipandang dari aspek apapun adalah sangat tepat. Tepat landasan, tepat proses, tepat pelaku, tepat ruang, tepat waktu, tepat anggaran, tepat kualitatif, tepat kuantitatif, dan tepat tujuan.5. Orientasi mengakui pluralitas dan heterogenitas. pluralitas dan heterogenitas merupakan sebuah kenyataan yang tidak mungkin ditindas secara fasis dengan memunculkan sikap fanatisme terhadap sebuah kebenaran yang diyakini oleh orang banyak.6. Orientasi anti hegemoni dan anti dominasi. hegemoni dan dominasi hegemoni adalah dua istilah yang sangat populer bagi kaum tertindas. Hanya saja kedua istilah tersebut tidak pernah digunakan atau bahkan dihindari jauh-jauh oleh para pengikut paham liberalis, kapitalis, globalis, dan neoliberalis. Karena hegemoni bukan hanya dibidang politik, melainkan juga dibidang pelayanan terhadap masyarakat. Dengan demikian multikulturalisme dan pendidikan bukanlah masalah teknis pendidikan belaka, tetapi memerlukan suatu konsep pemikiran serta pengembangan yang meminta partisipasi antardisiplin. Beberapa pemikiran “ besar” dalam sejarah pemikiran kita lahir dari pergaulan para pemikir pada situasi politik dan kebudayaan. Pendidikan yang berpijak pada budaya “ pribumi” bersemi ditengah dominanya model pendidikan belanda yang beriorentasi barat dan diskriminatif. Fakta- fakta itu menegaskan hegemoni negara dalam kebijakan dan praktik pendidikan menjadi konteks jitu yang mengasah counter dis course bagi visi pendidikan penguasa. Dalam alam reformasi hegemoni negara relatif cair dan kebebasan berpendapat praktis lebih dijamin. Berbagai masalah pendidikan kita pada alam reformasi tidak berkurang, mungkin lebih kompleks karena prinsip kesetaraan kepentingan. Namun, ruang kontemplasi untuk memikirkan berbagai persoalan itu terlibas dalam kebisingan “ pembaruan”. Akibatnya, pemetaan persoalan-persoalan pendidikan melulu bertolak dari hal-hal kasatmata.
Multikulturalisme adalah keniscayaan yang tak bisa ditolak di indonesia. Indonesia adalah salah satu negara bangsa di dunia yang meniscayakan multietnik dan agama tumbuh dalam masyarakat yang pluralis. Karena itu, pendidikan yang mengacu kepada trans etnik dan agama harus diusung sedemikian rupa agar tercipta relasi yang dinamis dan harmonis. Ketetapan UU Sisdiknas 2003, sebagai usaha “politik” kearah cita-cita bersama yang mulia, ternyata menuai kontropersi dan kritik. Gelombang reaksi pro dan kontra begitu memanas dari masyarakat khususnya bagi para pelaku pendidikan dan pemuka agama yang masing-masing berseteru ingin menyampaikan dan sekaligus mempertahankan aspirasinya.
Dalam konsep pendidikan Multikultural dalam Sistem pendidikan nasional di Indonesia ditengah kehidupan masyarakat yang masih rawan konflik bernuansa SARA seperti sekarang tentunya sangat signifikan. Dengan pendidikan multikultural dapat menjadi salah satu solusi bagi pendidikan di Indonesia. Apalagi semenjak ada himbauan presiden megawati sukarno putri kepada departemen agama untuk mengembangkan pola pendidikan agama yang berwawasan multikultural. Hingga kini belum muncul respon sungguh-sungguh untuk menindaklanjutinya. Wacana pendidikan multikulturalisme memang sempat menghangat di mass media dan banyak menjadi bahan diskusi di sejumlah forum, tapi sayangnya tidak diikuti dengan sejumlah upaya secara sungguh-sungguh dan kontinue untuk mempormulasikannya kedalam gagasan yang lebih aflikatif. Bahkan dapat dikatakan, upaya mempromosikan konsep pendidikan multikultural sebagai bagian dari upaya meredam potensi konflik horisontal maupun vertikal bangsa akibat salah paham soal SARA belum berjalan secara signifikan. Sebaliknya para elit politik dan elit agama, atau pakar ilmu sosial dalam menganalisis akar persoalan konplik cenderung menjadikan kesenjangan ekonomi dan sosial sebagai kambing hitam. Amat sedikit yang mau mengakui kalau persoalan konflik dan kekerasan itu berkait erat dengan praktik pengajaran (pendidikan) agama dan moral yang belum memupuk kerukunan bersama.
Sebagai implikasinya, upaya-upaya memperlunak kebekuan dan mencairkan kekakuan pemikiran keagamaan dan kemanusiaan dari masing- masing agama dan budaya belum dianggap terlalu penting untuk digiring kearah pendidikan. Mulai dari segi materi dan metodelogi yang diajarkan disekolah, pesantren, seminar, dan masyarakat umumnya, memiliki kencenderungan untuk mengajarkan pendidikan agama secara parsial (kulitnya saja). Materi pendidikan agama, misalnya, lebih terfokus pada upaya mengurusi masalah keyakinan seorang hamba dengan tuhannya. Seakan-akan masalah surga atau kebahagian hanya dapat diperoleh dengan cara ibadah atau aqidah saja. Sebaliknya pendidikan agama kurang peduli dengan isu-isu umum semacam sikap antikorupsi, wajibnya transformasi sosial, dan kepadulian terhadap sesama.Multikulturalisme merupakan pilihan atau resiko yang perlu diambil oleh keputusan masyarakat bangsa indonesia agar dapat survive dimasa depan.
Multikulturalisme merupakan suatu resiko yang perlu diambil didalam membina masyarakat bangsa Indonesia. Diatas konsep multikulturalisme inilah diambil keputusan-keputusan yang rasional, demokratis, paham pengembangan liberalisme yang tepat, pengakuan terhadap kebhinekaan budaya masyarakat dan bangsa Indonesia, adanya kebebasan beragama dan beribadah sesuai dengan keyakinannya, demikian pula membangun masyarakat Indonesia yang multikultural, serta menjaga persatuan dan kesatuan serta tekad untuk membangun suatu dunia yang lain, yaitu dunia yang bebas dari kemiskinan serta pengakuan terhadap hak asasi semua manusia Indonesia.Fenomena diatas tentu saja patut disesalkan. Pasalnya, saat ini konsep pendidikan multikulturalisme yang berintikan penekanan upaya internalisasi dan karakterisasi sikap toleransi terhadap perbedaan agama, ras, suku, adat dan lain-lain dikalangan peserta didik sangat kita butuhkan. Alasannya, kondisi situasi bangsa saat ini belum benar-benar steril dari ancaman konplik etnis dan agama, radikalisme agama, separatisme, dan disintegrasi bangsa. Bahkan dapat dikatakan serangkaian kerusuhan yang memakan ribuan korban tewas seperti kasus pekalongan (1995), Tasikmalaya (1996), Rengasdengklok (1997), Sanggauledo, Kalimantan Barat (1996 dan1997), Ambon dan Maluku sejak 1999, sampai Sampit, Kalimantan Timur (2000) sewaktu-waktu bisa dapat terjadi jika tanpa antisipatif secara dini.untuk itu, menghadirkan konsep pendidikan multikultural merupakan bagian dari usaha komprensif dalam mencegah dan menanggulangi konflik bernuansa SARA. Disamping itu, kita juga telah berkomitmen untuk mewujudkan tatanan masyarakat indonesia baru yang lebih toleran dan dapat menerima dan memberi didalam perbedaan budaya (multikultural), demokratis dalam perikehidupannya (democratizatioan), mampu menegakkan keadilan dan hukum (law enforcement), memiliki kebangsaan diri baik secara individual maupun kolektif (human dignity) serta mendasarkan diri pada kehidupan beragama dalam pergaulannya (religionism).
Menurut Zakiyuddin Baidhawy, menyatakan:Bahwa paradigma pendidikan multikultural mencakup subjek-subjek tentang ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang sosial, budaya ekonomi, dan lain-lain. Pendidikan multikultural yang mulai berkembang di Indonesia lebih diarahkan agar semua entitas bangsa dapat masuk kedalam lembaga yang disebut pendidikan, tanpa memandang miskin, kaya, priyayi, santri, dan seterusnya. Mengajarkan multikulturalisme lebih dari memastikan bahwa peserta didik dalam suatu kelas atau sekolah belajar dar berbagai latar belakang.
Kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia diberkahi dengan kenyataan adanya berbagai budaya etnis sebagaimana yang diakui didalam lambang negara “Bhineka Tunggal Ika.” Lambang negara tersebut bukan sesuatu yang telah jadi tapi yang menjadi. Oleh sebab itu Bhineka Tunggal Ika merupakan pengertian kesejarahan masyarakat dan bangsa Indonesia karena menunjukan keadaan masa lalu, persoalan masa kini, dan tugas untuk mewujudkannya dimasa yang akan datang. Keanekaan Indonesia kemudian dikenali, diakui, dan dikukuhkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi pedoman kehidupan bangsa Indonesia secara menyeluruh dan yang berlaku hingga saat ini, sebagai realisasi dari rumusan abstrak pengenalan, pengakuan, dan pengukuhan keanekaan itu, di bangun berbagai program pendokumentasian, pemahaman dan pelestaraian aneka budaya bangsa Indonesia sebagaimana yang tampak dalam berbagai program pembangunan dimasa Orde Baru. Proses ini merupakan suatu proses yang berkisanambungan tanpa akhir, karena merupakan suatu tugas dari setiap anggota masyarakat Indonesia yang terdiri dari berjenis-jenis etnis untuk bertekad membangun suatu masyarakat yang bersatu. Multikulturalisme merupakan suatu masalah yang mendasar, yang berkesinambungan, dan yang menentukan mati hidupnya negara-bngsa Indonesia.
Menurut Franz Magnis Suseno:Didalam masa kritis yang dilewati oleh bngsa Indonesia pada akhir-akhir ini, dengan terjadinya berbagai gesekekan horizontal, menunjukan gejala-gejala pengkhianatan terhadap tiga asas kehidupan masyarakat bangsa Indonesia yaitu: Pertama, pengkhianatan terhadap sumpah pemuda tahun 1928, yaitu keinginan untuk membangun satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia. Kedua, pengkhianatan terhadap kesepakatan untuk hidup bersama dibawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terlihat gejala-gejala separatisme untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gerakan ini tentunya lahir karena kekhilafan-kekhilafan yang kita buat, antara lain dengan meremehkan eksistensi kebhinekaan budaya bangsa Indonesia dan terlalu mementingkan budaya dari satu-dua kelompok entis saja. Ketiga, penghianatan terhadap ikrar bersama untuk hidup rukun, penuh toleransi, karena diikat oleh satu tujuan yaitu ingin membangun satu masyarakat ynag adil dan makmur untuk seluruh masyarakat.

BAB III. PEMBAHASAN
Indonesia adalah merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia, Dalam studi kultural, pendidikan dalam arti yang luas merupakan bagian yang sangat penting di dalam proses membudaya (Bourdieu & Passeron; Apple; Tilaar). Agama adalah norma-norma dan susunan nilai yang diyakini menjadi pedoman tingkah laku manusia di dalam komunikasinya, terhadap sesama manusi, terhadap alam sekitar dan terhadap Tuhan-nya.
Berdasarkan PP 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan keagamaan menyebutkan bahwa, pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.
Pengajaran agama berkaitan dengan prosses pendidikan dalam lembaga pendidikan formal dan non formal. Dalam konsep Sisdiknas, pengajaran agama yang juga disebut sebagai pendidikan agama harus diberikan di semua satuan pendidikan baik formal maupun non formal. Bahkan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah asing pun harus meberikan pelajaran agama dari pengajar yang seagama dengan dengan peserta didik.
Indonesia termasuk salah satu dari sekian puluh negara berkembang. Sebagai negara berkembang, menjadikan pendidikan sebagai salah satu sarana startegis dalam upanya membangun jati diri bangsa adalah sebuah langkah yang bagus, relatif tepat, dan menjanjikan pendidikan yang layak dan kelihatannya tepat dan kompatibel untuk membangun bangsa kita adalah dengan model pendidikan multikultural. Berkaitan dengan hal ini, maka pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis,budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur dan ras. Terlepas dari pro-kontra itu, persoalan sebenarnya dalam pendidikan agama di Indonesia bukan menyangkut perlu tidaknya pendidikan agama masuk sistem pendidikan nasional. Sebagai negara nonsekuler, masalah keterlibatan negara dalam persoalan agama tak bisa dihindarkan, termasuk masalah pendidikan agama. Masalahnya, bagaimana pendidikan agama diterapkan bagi anak didik di era pluralis multikultural.
Dengan realita masyarakat Indonesia yang plural multikultural, kegagalan dalam merumuskan sistem pendidikan agama yang tepat, amat berpengaruh dalam pembentukan sikap peserta didik terhadap orang yang berbeda agama dan budayanya.
Adalah lampu kuning bagi dunia pendidikan kita (terutama pendidikan agama), mengapa begitu mudahnya konflik dan kekerasan yang mengatasnamakan agama atau SARA terjadi di negeri multietnis dan agama ini. Sepanjang enam tahun terakhir, kita menyaksikan serangkaian kerusuhan yang memakan ribuan korban tewas. Sebut kasus Pekalongan (1995), Tasikmalaya (1996), Rengasdengklok (1997), Sanggau Ledo, Kalimantan Barat (1996 dan 1997), Ambon dan Maluku sejak 1999, sampai Sampit, Kalimantan Timur (2000). Semua ini merupakan bentuk nyata kegagalan dunia pendidikan dalam mengemban misi as tool social engineering.
Namun, amat disesalkan, kepedulian masyarakat kita atas problem pendidikan ini belum begitu memadai. Para elite politik elite agama, atau pakar ilmu sosial dalam menganalisa akar persoalan cenderung menjadikan kesenjangan ekonomi dan sosial sebagai kambing hitam. Amat sedikit yang mau mengakui kalau persoalan konflik dan kekerasan itu amat berkait erat dengan praktik pengajaran (pendidikan) agama dan moral.
Dengan demikian, upaya-upaya untuk memperlunak kebekuan dan mencairkan kekakuan pemikiran keagamaan dan kemanusiaan dari masing-masing agama dan budaya belum dianggap terlalu penting untuk digiring ke ranah pendidikan.
Mulai dari segi materi sampai metodologi yang diajarkan di sekolah, pesantren, seminari, dan masyarakat umumnya, memiliki kecenderungan untuk mengajarkan pendidikan agama secara parsial (kulitnya saja). Materi pendidikan agama misalnya lebih terfokus pada mengurusi masalah private affairs semacam masalah keyakinan seorang hamba dengan Tuhannya face to face. Seakan masalah surga atau kebahagiaan hanya dapat diperoleh dengan ibadah atau akidah saja. Sebaliknya pendidikan keagamaan kurang peduli dengan isu-isu umum semacam sikap antikorupsi, wajibnya transformasi sosial, dan kepedulian terhadap sesama.
Dalam metodologi pengajaran juga tak mencerminkan keseriusan mencari titik temu pluralitas yang ada. Meski diajarkan pengetahuan tentang agama lain yang berbeda, namun pengajarannya cenderung subyektif dengan melihat agama lain dari kacamata agama yang mengajar dan diajar. Wajar jika pengetahuan anak didik terhadap agama lain menjadi sempit.
Otomatis kondisi ini akan melahirkan ajaran agama yang bersifat doktrin eksklusif, superior, dan melahirkan klaim sebagai satu-satunya yang paling benar (claim of truth). Pada gilirannya seperti dikatakan Bertrand Russel dalam Education and Social Order (1993) tak akan terjadi hubungan yang harmonis dan terbuka dalam menyikapi agama-agama lain. Begitu juga dengan masalah kultural (budaya) bangsa kita yang amat majemuk ini.
Penyeragaman kurikulum dari Sabang sampai Merauke misalnya, memaksa pembentukan karakter anak didik ke dalam satu arah yang diinginkan pemerintah pusat semata. Padahal, mereka memiliki latar belakang sosial yang tidak sama.
Akibatnya, peserta didik tidak hanya kehilangan rasa kepekaan sosial terhadap lingkungan sekitarnya, tetapi juga menafikan budaya atau kultur yang berbeda dengan yang mereka anut. Tak jarang stereotip yang salah dilabelkan pada suatu daerah. Misalnya ada daerah yang dikonotasikan sebagai orang yang kemaruk dengan kekuasaan, ada yang dikatakan sebagai tukang tipu, memiliki watak kasar, gila harta dan sebagainya.
Padahal sebagaimana sikap-sikap baik yang juga dimiliki tiap adat dan budaya, masalah kejelekan tetap ada pada tiap daerah yang nantinya tergantung pada individu masingmasing.
Faktor di atas juga yang menyebabkan lahirnya semangat primordialisme sempit di era otonomi daerah ini. Otonomi daerah yang semula diterapkan untuk menggali potensi daerah telah bergeser maknanya menjadi simbol kebangkitan etnis. Berkembangnya wacana putra daerah misalnya merupakan indikasi nyata bangkitnya solidaritas etnis sempit ini.
Untuk itu pengajaran dan pendidikan agama yang eksklusif dan doktrinal harus diganti dengan pendidikan yang berbasis pluralisme dan multikultural. Amat penting ditanamkan pada peserta didik sejak dini bila keragaman etnis dan agama sudah menjadi fitrah manusia. Maka selain dituntut untuk saling menghormati juga diperlukan kerja sama kuat tanpa sekatan agama atau primordialisme lainnya.
Dengan kata lain, selain memperteguh iman, akidah, identitas individu dan kelompok masing-masing juga harus dibarengi porsi yang seimbang dengan usaha memperkokoh perlunya solidaritas dan kontak sosial keagamaan dalam masyarakat luas. Dengan ini, pendidikan pluralis-multikultural diharapkan mampu menjadi jembatan bagi keragaman etnis dan agama di Indonesia sekaligus membendung munculnya berbagai benturan di era globalisasi, kompetisi, pluralisme agama, budaya, dan etnis.
Akhirnya yang berkembang adalah pendidikan agama yang inklusif dan kultur pluralis yang dapat melahirkan pribadi-pribadi yang hanif dan toleran.
Perlu direnungkan apa yang dikatakan Leonard Swider dalam Death or Dialog bahwa kita tidak dapat mengabaikan pihak lain dengan menutup mata, pikiran, dan hati terhadap mereka, menatap mereka dengan curiga, prasangka, bahkan dengan kebencian. Pola semacam ini hanya akan mengantar kepada permusuhan yang berakhir pada konfrontasi agama dan budaya. Karena itu, filosofi pendidikan yang hanya membenarkan agama dan budayanya sendiri sebagai superior harus dikikis habis. Dan ini paling tepat bila dilakukan melalui media pendidikan. Sebab pendidikan merupakan salah satu media paling efektif untuk penyadaran dan pemerdekaan.
Pilihan untuk melibatkan guru-guru yang berinteraksi dengan para murid jelas harus dilakukan. Dengan kata lain, wacana kerukunan beragama, toleransi, primordialisme sempit dan lainnya saat ini tak boleh hanya jadi milik elite politik, elite agama, atau pemuka adat saja. Tetapi harus disebarkan kepada semua komponen bangsa yang terlibat langsung dalam proses penyadaran ini.
Setelah kita ketahui, lahir dan berkembangnya multikulturalisme serta praktik pendidikan multikultural dibeberapa negara yang telah melaksanakan pendidikan multikultural, kini tibalah saatnya kita untuk mencoba menyusun konsep pendidikan multikultural yang sekiranya dapat dikembangkan ditanah air kita sesuai dengan kondisi sosial, budaya, dan politik ditanah air.Pendidikan multikultural mempunyai dimensi sebagai berikut:
1. “Right to Culture” dan identitas budaya lokal. Multikulturalisme meskipun didorong oleh pengakuan tergadap hak asasi manusia, namun akibat globalisasi pengakuan tersebut diarahkan juga kepada hak-hak yang lain yaitu hak akan kebudayaan (right to culture). Lahirnya identitas kesukuan sebagai perkembangan budaya mikro di indonesia, memang semuanya itu memerlukan masa transisi yaitu seakan-akan melorotnya rasa kebangsaan dan persatuan indonesia. Hal ini dapat dimengerti oleh karena apa yang disebut budaya indonesia sebagai budaya mainstream belum jelas bagi kita semua. Identitas budaya makro, yaitu budaya indonesia yang sedang menjadi memang harus terus menerus kita bangun atau merupakan suatu proses yang tanpa ujung. Namun demikian hal tersebut merupakan sesuatu yang harus diwujdkan oleh setiap insan indonesia dari generasi ke generasi. Upaya untuk membangun suatu masyarakat madani indonesisa yang berdasarkan kebudayaan indonesia.
2. Kebudayaan indonesia yang menjadi. Kebudayaan indonesia yang menjadi adalah suatu pegangan dari setiap insan dan setiap identitas budaya mikro indonesia. Hal tersebut merupakan suatu sistem nilai yang baru yang ini kemudian memerlukan suatu proses yang mana perwujudannya antara lain melalui proses dalam pendidikan nasional. Oleh sebab itu ditengah-tengah maraknya identitas kesukuan, sekaligus ditekankan sistem nilai baru yang akan kita wujdkan, yaitu sistem nilai ke indonesiaan. Hal tersebut bukannya suatu yang mudah karena memerlukan paradigm shift didalam proses pendidikan bangsa indonesia. Sebagai suatu paradigma baru didalam sistem pendidikan nasional, maka perlu dirumuskan bagaimana sistem pendidikan nasional diarahkan kepada pemeliharaan dan pengembangan konsep negara-bangsa yaitu negara kesatuan republik indonesia yang didasarkan kepada kekayaan kebudayaan dari berbagai suku bangsa di indonesia.
3. Konsep pendidikan multikultural yang normatif, kita tidak bisa menerima konsep pendidikan multikultural yang deskriftif yaitu hanya sekedar mengakui pluralitas budaya dari suku-suku bangsa di indonesia. Disamping pengakuan akan pluralitas budaya kita juga harus mampu mewujudkan kebudayaan indonesia yang dimiliki oleh suatu negara-bangsa. Adapun konsep pendidikan multikultural normatif adalah konsep yang dapat kita gunakan untuk mewujdkan cita-cita tersebut. Untuk mewujdkan semuanya jangan sampai konsep pendidikan multikultural normatif sebagai suatu paksaan yang menghilangkan keanekaragaman budaya-budaya lokal. Akan tetapi konsep pendidikan multikultural normatif harus mampu memperkuat identiatas suatu suku yang kemudian dapat menyumbangkan bagi terwujudnya suatu kebudayaan indonesia yang dimiliki oleh seluruh bangsa indonesia.
4. Pendidikan multikultural Merupakan suatu rekontruksi sosial, suatu rekontruksi sosial artinya, upaya untuk melihat kembali kehidupan sosial yang ada dewasa ini. Salah satu masalah yang timbul akibat berkembangnya rasa kedaerahan, identitas kesukuan, dari perorangan maupun suatu suku bangsa indonesia, telah menimbulkan rasa kelompok yang berlebihan. Ini semua akan menyebabkan pergeseran-pergeseran horizontal yang tidak dikenal sebelumnya.
5. Pendidikan multikultural di indonesia memerlukan pedagogik baru. Jelas kiranya untuk melaksanakan konsep Pendidikan multikultural didalam masyarakat pluralitas tapi sekaligus diarahkan kepada terwujdnya masyarakat indonesia baru, maka pedagogik yang tradisional tidak dapat kita gunakan lagi. Pedagogik tradisional membatasi proses pendidikan didalam ruangan sekolah yang sarat dengan pendidikan intelektualistik. Sedangkan kehidupan sosial-budaya di indonesia menuntut pendidikan hati (Pedagogy of hert) yaitu diarahkan kepada rasa persatuan dari bangsa Indonesia yang pluralistiks.
6. Pendidikan multikultural bertujuan untuk mewujdkan visi indonesia masa depan serta etika berbangsa. TAP/MPR RI Tahun 2001 No.VI dan VII mengenai visi indonesia masa depan serta etika kehidupan berbangsa perlu dijadikan pedoman yang sangat berharga dalam pengembangan konsep Pendidikan multikultural. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan menghidupkan kembali pendidikan budi pekerti terutama ditingkat pendidikan dasar, melengkapi pendidikan agama yang sudah ditangani dengan UU No. 20 Tahun 2003.25
BAB V. PENUTUP
Krisis multidimensi yang dialami negeri ini, diakui atau tidak merupakan bagian dari problem kultural yang salah satu penyebabnya adalah keragaman kultur yang ada dalam masyasarakat kita. Keragaman itu sendiri adalah rahmat Tuhan yang dianugerahkan pada bangsa dan negeri ini. Karena dengan begitu, semua kita dapat saling mengenal dan bahu membahu dalam membangun sebuah negeri.
Namun disisi lain, apabila kita tidak dapat melihat sisi positif didalamnya, keragaman itu dapat menjadi salah satu sumber malapetaka yang dapat mengakibatkan adanya kecurigaan dan rasa saling tidak percaya dari satu kelompok terhadap kelompok-kelompok yang lain. Diantaranya adalah diskriminasi, ketidak adilan, dan pelanggaran terhadap hak-hak azasi manusia (HAM) yang terus terjadi hiangga hari ini dengan segala bentuknya seperti kriminalitas, korupsi, politik uang, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap perempuan dan anak, pengesampingan hak-hak minoritas, pengesampingan terhadap nilai-nilai budaya lokal, kekerasan antar pemeluk agama dan sebagainya adalah wujud nyata dari problematika kultural yang ada.Salah satu upaya preventif untuk membangun kesadaran dan pemahaman generasi masa depan akan pentingnya selalu menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, demokrasi, kemnusiaan dan pluralisme dalam pergaulan didalam masyarakat yang mempunyai latar belakang kultural yang beragam adalah dengan melalui penerapan pendidikan multikultural. Karena strategi dan konsep pendidikan ini tidak hanya bertujuan agar peserta didik memahami dan ahli dalam disiplin ilmu yang dipelajarinya. Akan tetapi, juga bagaimana caranya agar siswa mempunnyai, sekaligus dapat mempraktekan nilai-nilai pluralisme, demokrasi, humanisme dan keadilan terkait dengan perbedaan kultural yang ada disekitar kita. Dengan diterapkannya konsep dan strategi ini, diharapkan segala bentuk diskriminasi, kekerasan dan ketidak adilan yang sebagian besar dilatar belakangi oleh adanya perbedaan kultural seper ti perbedaan agama, ras, etnis, bahasa, kemampuan, gender, umur dan kelas sosisal-ekonomi dapat diminimalkan.
Agar tujuan pendidikan multikultural ini dapat dicapai, maka diperlukan adanya peran serta dan dukungan dari guru atau dosen, institusi pendidikan dan para pengambil kebijakan pendidikan lainya. Guru atau dosen perlu memahami konsep dan stategi pendidikan multikultural agar nilai-nilai utama yang terkandung dalam strategi dan konsep pendidikan tersebut seperti pluralisme, demokrasi, humanisme, dan keadilan dapat juga diajarkan sekaligus dipraktekkan dihadapan para siswa sedemikian rupa, seorang guru atau dosen tidak hanya bertanggung jawab agar peser ta didik mempunyai pemahaman dan keahlian terhadap mata pelajaran yang diajarkanya, akan tetapi juga bertanggung jawab untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, demokrasi, keadilan dan pluralisme.
Disamping itu, perlu juga dukungan dari sekolah atau kampus sebagai sebuah institusi pendidikan. Dukungan ini dapat diwujudkan dengan menerapkan konsep dan strategi pendidikan multikultural kedalam tujuan pembelajaran, kurikulum, dan menejemen pendidikan yang diterapkan sekolah.Dukungan lain yang akan sangat berarti bagi pengembangan pendidikan multikultural adalah dari para pengambil kebijakan baik dari pemerintah tingkat pusat, maupun di daerah ditingkatan institusi pendidikan itu sendiri, seperti kepala sekolah, komite sekolah maupun kepala adminstrasi sekolah. Dukungan ini sangat penting meskipun dalam era otonomi daerah sekarang ini para pengambil kebijakan di daerah mempunyai hak berinistiatif, membuat dan menerapkan kebijakan lokal masing-masing. Akan tetapi kerja sama dan kesamaan persepsi, serta tujuan para pengmbil kebijakan di daerah dan pusat dapat memaksimalkan pengemabngan pendidikan mmultikultural ini. Akhirnya, dengan adanya dukungan dari guru atau dosen institusi pendidikan dan para pengambil kebijakan lain, baik dipusat maupun daerah, diharapkan penerapan pendidikan multikultural ini dapat di implementasikan secara maksimal dan efektif.
Harapan dari semua ini adalah bahwa institusi pendidikan kita, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, dapat menghasilkan lulusan sekolah atau universitas yang tidak hanya mempunyai kemampuan kognitif (pengetahuan), dan psikomotorik (keterampilan), melainkan juga mempunyai sikap (afektif) yang demokratis, humanis, pluralis dan adil.
Bangunan Indonesia baru atau perombakan tatanan kehidupan orde baru adalah sebuah “masyarakat multikultural Indonesia” yang didirikan diatas puing-puing tatanan kehidupan orde baru yang bercorak “masyarakat majemuk ”(plural society). Sehingga, corak masyarakat Indonesia yang bhineka tunggal ika bukan lagi keanekaragaman suku bangsa tetapi juga keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesi.
Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikutural yaitu, sebuah ideologi yang mengakui dan mengagumkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual dan secara kebudayaan.



DAFTAR PUSTAKA: Ainul, Yaqin. Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pilar Media, 2005.Al Barry, M. Dahlan. Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arloka, 2001.Arifin, Thoha, Zaenal. Kenylenehan Gusdur, Jakarta: Gama Media, 2005.Batubara, Muhyi. Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Ciputat Press, 2004.Cahyono, Imam“Mandeknya Pemikiran Pendidikan”, Kompas, 18 Januari 2007.Dawam, Ainurrofiq. Emoh Sekolah, Yogyakarta: Inspealahimas Karya Press, 2003.………, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Inspeal, 2006.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996.Fadjar,Malik. Holistika Pemikiran Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.………, Platform Reformasi Pendidikan Dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.Idris, Jamaluddin. Kompilasi Pemikiran Pendidikan, Yogyakarta: Taufiqiyah Sa’adah, 2005.Imron, Ali. Kebijaksanaan Pendidikan Di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 2002.Kartono, Kartini. Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Pradnya Paramita, 2004.Mahfud Choerul. Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006 Mudyahardjo, Redja. Pengantar Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. IAIT Press, Kediri,2005.Pidarta, Made. Landasan Kependidikan, Jakarta: Rineka Karya, 1997.Saala, Saiful, H. Administrasi Pendidikan Kontemporer, Bandung: Alfa Beta, 2006.Setiawan, Benni. Manifesto Pendidikan Di Indonesia, yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006.Sumartana. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama Di Indonesia, Yogyakarta: pustaka Pelajar, 2001. Suharto, Toto. Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar-ruz Media, 2006.Standar nasional Pendidikan, Bandung: Fokus Mrdia, 2005.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem pendidikan Nasional, Surabaya: Media Centre, 2005.Suparlan. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, Yogyakarta: Hikayat, 2004.Susetyo, Benny. Politik Pendidikan penguasa, Yogyakarta: Lkis, 2005.Suwignyo, Agus.“Menuntut Globalisasi Yang Manusiawi,” Kompas, 15 Februari 2007.Suyanto. Pendidikan Di Indonesia Memasuki Milenium III, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000.Tilaar, H.A.R. Multikulturalisme tantangan-tantangan global masa depan dalam transformsi pendidikan nasional, Jakarta: Grasindo, 2004.………, Manajemen Pendidikan Nasional, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003.………, Pendidikan,Kebudayaan, dan masyarakat Madani Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Tholkhah, Imam. Membuka Jendela Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.Yunus Firdaus, M. Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005. Zuhairini. Filsafat pandidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.Zubaedi. Pendidikan Berbasis Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.


HUBUNGAN ILMU DENGAN AGAMA-Agama tanpa ilmu adalah buta, Ilmu tanpa agama adalah lumpuh

I. PENDAHULUAN
Manusia modern telah membakar tangannya dengan api yang dinyalakannya; karena ia telah lupa siapa ia sesungguhnya. Manusia telah menjual jiwanya untuk memperoleh kekuasaan terhadap lingkungan alam manusia – ia menciptakan suatu situasi di mana kontrol terhadap lingkungan berubah menjadi pencekikan, yang selanjutnya tidak hanya berubah menjadi kehancuran ekonomi tetapi juga perbuatan bunuh diri. Demikian Budhy Munawar Rahman.
Ilustrasi ini menggambarkan bahwa manusia modern melihat segala sesuatu dari sudut pandang pinggiran eksistensinya itu, tidak pada pusat spiritualitasnya, sehingga mengakibatkan ia lupa siapa dirinya. Memang dengan apa yang dilakukannya sekarang – memberi perhatian pada dunia dan eksistensi luarnya – ia mendapat pengetahuan dunia material yang secara kuantitatif sangat mengagumkan, tetapi secara kualitatif dan keseluruhan tujuan hidupnya – menyangkut pengertian tentang dirinya, ternyata sangat dangkal.
Menarik dijelaskan disini, sinisme para ilmuwan Barat beranggapan bahwa pada saat ini merupakan masa kejayaan sains dan filsafat rasionalisme, muncul sebuah wacana bahwa saatnya telah tiba bagi agama untuk mundur dari pentas sejarah (gulung tikar: pen). Masyarakat modern yang katanya berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi tidak memerlukan lagi agama karena semua persoalan hidup akan dapat diselesaikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Orang bisa saja percaya adanya Tuhan, bahwa semua ini pada mulanya berasal dari Tuhan, tetapi manusia semakin mampu mengurus diri sendiri dengan bantuan iptek modern, maka tak pernah lagi peran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.[1] Melihat realitas yang ada, tentu saja dalam konteks ke-Indonesiaan, padangan ini sama sekali tidak dapat diterima. Ternyata, di tengah gempuran ideologi rasionalisme dan kebangkitan sains, agama masih terus bertahan, walau agak gamang dan harus merumuskan kembali berbagai perannya. Manusia masih tetap memerlukan agama untuk menyelesaikan persoalan-persoalan mereka yang tidak diselesaikan oleh sains dan teknologi.
Makalah ini, melihat hubungan agama dengan ilmu pengetahuan dan bagaimana masing-masing dapat secara sinergi untuk memberikan apresiasi pada pernyataan agama tanpa ilmu adalah buta, ilmu tanpa agama adalah lumpuh.

II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu
Menurut S. Hornby[2] mengartikan ilmu sebagai “Science is organized knowledge obtained by observation and testing of fact. Hal ini menujukkan jelas bahwa ilmu adalah pengetahuan yang terorganisir yang didasarkan pada observasi dan hasil pengujian.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia ilmu memiliki dua pengertian, yaitu,[3] Pertama Ilmu diartikan sebagai suatu pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerapkan gejala-gejala tertentu dibidang (pengetahuan) tersebut, seperti ilmu hukum, ilmu pendidikan, ilmu ekonomi dan sebagainya. Kedua Ilmu diartikan sebagai pengetahuan atau kepandaian, tentang duniawi, akhirat, lahir, bathin, dan sebagainya, seperti ilmu akhirat, ilmu akhlak, ilmu bathin, ilmu sihir, dan sebagainya. Pengertian pertama memberikan gambaran bahwa suatu bidang/kajian dapat dikatakan ilmu, apabila mempunyai sistem atau bagian-bagian pendukung, yang apabila salah satunya hilang, maka ia tidak dapat dikatakan suatu ilmu. Sedangkan pengertian yang kedua penekanannya lebih kepada kepandaian/keahlian/pemahaman terhadap obyek ilmu.
Jujun S. Suriasumatri menjelaskan bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang digali sejak sekolah dasar sampai pendidikan lanjutan dan perguruan tinggi. Berfilsafat tentang ilmu berarti berterus terang pada diri sendiri tentang ; apa yang diketahui tentang ilmu ? Apa beda ilmu dari pengetahuan lainnya ? Bagaimana kita mengetahui bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang benar ? Kriteria apa yang dipakai untuk menentukan kebenaran ? Mengapa kita mesti belajar ilmu ?[4]. Jujun. S. Suriasumantri dalam pengertian ini, lebih melihat ilmu sebagai suatu proses. Demikian pula Lexy J. Moleong melihat ilmu sebagai pengetahuan yang didapatkan melalui proses kegiatan ilmiah.[5] Oleh karena itu menurut Jujun S. Suriasumantri pengetahuan ilmiah tidak sukar untuk diterima sebab pada dasarnya ia dapat diandalkan dengan suatu fakta dan argumentasi yang komprehenship, meskipun tentu saja tidak semua masalah dapat dipecahkan secara keilmuwan.[6] Dengan demikian, ilmu dalam pengertian ini didasarkan pada suatu fakta dan argumentasi yang berdasarkan pada nilai-nilai kebenaran.
Alan H. Goldman lebih melihat bahwa ilmu sesuatu yang diperoleh pada rujukan-rujukan tertentu yang diyakini kebenarannya, “knowledge is belief that is best explained by reference to its truth”[7]. Dengan demikian, maka ilmu adalah pengetahuan yang didapatkan melalui proses kegiatan ilmiah dan telah teruji kebenarannya berdasarkan dalil-dalil yang sahih yang berlaku universal. Dalam konteks filsafat, obyek material ilmu dapat dibagi ke dalam ilmu alam dan ilmu sosial. Ilmu alam melahirkan sejumlah obyek formal yang dikaji oleh dan menurut disiplin ilmunya seperti biologi, kimia, fisika, farmasi dan lain-lain. Sedangkan yang tercakup ke dalam Ilmu-ilmu sosial berupa sosiologi, politik, ekonomi, hukum dan lain-lain.
B. Pengertian Agama
Kata agama yang dalam bahasa Inggris disebut religion[8] diartikan dengan “bilief in and worship of God or Gods” atau juga diartikan dengan “particular system of faith and worship based on such belief”
Albert Einstein (1879-1955) seperti dikuti oleh Burhanuddin Salam, agama adalah kegiatan mengagumi dengan rendah hati roh yang tiada terbatas luhurnya, yang menyatakan dirinya dalam bagian yang kecil-kecil yang dapat disadari dengan akal. Agama juga diartikan dengan keyakinan yang sangat emosional akan adanya suatu daya pikir yang luhur yang dinyatakan dalam semesta alam yang tak dapat dipahami[9]. Demikian Alber Einstein tentang agama.
Agama dalam pandangan John Locke (1632-1704) seperti dikutif Qurasih Shihab diartikan sesuatu yang bersifat khusus, sangat pribadi, sumbernya adalah jiwa seseorang dan mustahil bagi orang lain memberi petunjuk jika jiwa sendiri tidak memberitahunya. Memperhatikan pendapat tersebut, jelas bahwa masalah agama dalam perspektif Jhon Locke adalah keyakinan yang bersemayam dalam jiwa, karena jiwa (bathini) mampu merasakan kebenaran yang mendalam.
Muhammad Syaltut juga dikutif oleh Quraish Shihab menyatakan bahwa “agama adalah ketetapan-ketetapan Ilahi yang diwahyukan kepada Nabi-Nya untuk menjadi pedoman hidup manusia”. Mencermati pengertian tersebut terdapat tiga factor berkenaan dengan agama, yaitu: pertama, fator Tuhan sebagai pemberi ketetapan, kedua, wahyu sebagai sumber ajaran, ketiga nabi sebagai perantara antara Tuhan dan manusia, untuk menyampaikan risalah-risalah kebenaran (wahyu).
Syaikh Muhammad Abdullah Badran mengartikan agama sebagai hubungan antara dua pihak, yang pertama mempunyai kedudukan lebih tinggi dari yang kedua. Dengan memperhatikan pendapat-pendapat itu, Quraish Shihab berpendapat bahwa yang dimaksud dengan agama adalah hubungan antara makhluk dan khalik-Nya[10]. Agama dalam pengertian Syaikh Muhammad Abdullah Badran maupun Quraish Shihab diartikan sebagai dua pihak yang berbeda kasta. Tuhan, sebagai penguasa, yang berkuasa penuh atas makhluk-makhluknya, dengan wahyu sebagai the way of life dalam proses pengabdian kepada sang Khalik.
Asif Iqbal Khan mengemukakan bahwa agama yang memberikan penyelesaian sepenuhnya pada semua masalah kompleks yang berhubungan dengan manusia. Agama bergerak dari individu ke masyarakat. Agama memperbesar klaimnya dan memegang prospek yang merupakan visi langsung realitas.[11] Asif Iqbal Khan dalam konteks ini, melihat agama sebagai “obat penenang” kegalauan manusia dalam menjalani kehidupan. Agama merupakan penuntun arah menuju tujuan yang hakiki.
Untuk memberikan gambaran dan argumentasi yang lebih jelas mengenai definisi agama, dalam Encyclopedia of Philosophy (dalam Jalaluddin Rahmat)[12] dijelaskan karakteristik agama, yaitu: Pertama, kepercayaan kepada wujud supranatural (Tuhan), Kedua. pembedaan antara obyek sakral dan profan, Ketiga. tindakan ritual yang berpusat pada obyek. Keempat tuntutan moral yang diyakini ditetapkan oleh Tuhan. Kelima perasaan yang khas agama (ketakjuban, perasaan misteri, rasa bersalah, pemujaan), yang cenderung bangkit di tengah-tengah obyek sakral atau ketika menjalankan ritual, dan yang dihubungkan dengan gagasan ketuhanan. Keenam sembahyang dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya dengan Tuhan, Ketujuh padangan dunia atau gambaran umum tentang dunia, cara keseluruhan dan tempat individu di dalamnya. Kedelapan pengelolaan kehidupan yang bersifat menyeluruh, yang didasarkan pada pandangan dunia, dan Kesembilan kelompok sosial yang diikat bersama oleh hal-hal di atas (1 – 8).

C. Kaitan ilmu dan Agama (Ilmu Tanpa Agama Buta, Agama Tanpa Ilmu Lumpuh)

Ilmu dan agama merupakan dua instrumen penting bagi manusia untuk menata diri, berperilaku, bermasyarakat, berbangsa, bernegara serta bagaimana manusia memaknai hidup dan kehidupan. Keduanya diperlukan dalam mendorong manusia untuk hidup secara benar.
Sebagai makhluk berakal, manusia sangat menyadari kebutuhannya untuk memperoleh kepastian, baik pada tataran ilmiah maupun ideologi. Melalui sains, manusia berhubungan dengan realitas dalam memahami keberadaan diri dan lingkungannya. Sedangkan agama menyadarkan manusia akan hubungan keragaman realitas tersebut, untuk memperoleh derajat kepastian mutlak, yakni kesadaran akan kehadiran Tuhan. Keduanya sama-sama penjelajahan realitas. Namun kualifikasi kebenaran yang bagaimanakah yang diperlukan manusia, sehingga realitas sains dan agama masih sering dipertentangkan? Untuk menyelesaikan ketegangan yang terjadi antara sains dan agama dapat ditinjau berbagai macam varian hubungan yang dapat terjadi antara sains dan agama.[13] Demikian, analisa M. Ridwan.
Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis lebih melihat peran dan fungsi ilmu dan agama dalam persepektif kekinian. Dalam era globalisasi yang ditandai dengan tingkat kecanggihan teknologi, agama mulai terlihat kembali dibicarakan oleh banyak orang, karena memiliki kesempatan yang jauh lebih besar untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Umat manusia tentunya merasa bersyukur, mengingat pembicaraan agama berarti sebagai pertanda bahwa umat manusia mulai lagi membicarakan dan mencari tentang makna dan tujuan hidup.[14]. Hal ini menunjukkan bahwa, orang mulai menyadari keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam kaitan ini, Yudim mengatakan bahwa kebutaan moral dari ilmu itu mungkin akan membawa manusia ke jurang malapetaka. Relativitas atau kenisbian ilmu pengetahuan bermuara pada filsafat, relatifitas atau kenisbian ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan bermuara pada agama.[15] Dengan demikian, agama memegang peranan sentral dalam proses mencapai tujuan hidup.
Dalam mencermati konsep sains, Bruno Guiderdoni (dalam M. Ridwan)[16] mengemukakan pendapat yang disertai pula penalaran terhadap konsep agama. Dia membedakan istilah sains dan agama dalam banyak definisi, yaitu :
1. Bahwa sains menjawab pertanyaan “bagaimana”, sedangkan agama menjawab pertanyaan “mengapa”.
2. Sains berurusan dengan fakta, sedangkan agama berurusan dengan nilai atau makna.
3. Sains mendekati realitas secara analisis, sedangkan agama secara sintesis.
4. Sains merupakan upaya manusia untuk memahami alam semesta yang kemudian akan mempengaruhi cara hidup kita, tetapi tidak membuat kita menjadi manusia yang lebih baik. Sedangkan agama adalah pesan yang diberikan Tuhan untuk membantu manusia mengenal Tuhan dan mempersiapkan manusia untuk menghadap Tuhan.

Berkenaan dengan sains Durkheim seperti dikutif Djuretna menegaskan bahwa agama merupakan suatu sistem pemikiran yang bertujuan menerangkan alam semesta ini, dan menugaskan diri untuk menterjemahkan realitas dengan bahasa yang dapat dimengerti, yang sebenarnya adalah bahasa sains.[17] Durkheim tidak memberikan batasan yang jelas antara tugas ilmu dan mana tugas agama. Bila agama dikatakan dengan sistem pemikiran, maka apa bedanya dengan ilmu yang juga merupakan suatu proses berpikir yang sistemik/menggunakan kaidah-kaidah ilmiah.
Nico Syukur Dister Ofm mencoba memilah keduanya, menurutnya, tidak juga dapat dikatakan bahwa keinginan intelek dipuaskan oleh agama. Sebab untuk sebagian intelek manusia bersifat rasional dan sejauh keinginannya ialah menangkap dan menguasai yang dikenalnya itu. Namun demikian, agama memang memberi jawaban atas “kesukaran intelektual kognitif”, sejauh kesukaran ini dilatarbelakangi oleh keinginan eksistensial dan psikologis, yaitu keinginan dan kebutuhan manusia akan orientasi dalam kehidupan, untuk dapat menetapkan diri secara berarti dan bermakna di tengah-tengah kejadian alam semesta.[18] Nico Syukur Dister Ofm, meletakkan otonomi ilmu yang rasional untuk mengeksplorasi dan menganalisa sejauh mungkin apa yang ingin diketahui. Sedangkan agama memberi ruang, hal mana yang tidak terpecahkan oleh pemikiran manusia. Dengan demikian, logika adalah kendaraan super-exekutif untuk mencapai hakekat, tanpa logika agama takkan dapat dipahami[19] Ahmad Mufli Saifuddin, menilai, sekalipun kedua berbeda, namun ilmu dan agama dipertemukan dalam hal tujuannya. “Meskipun pendekatan yang digunakan keduanya berbeda (ilmu dan agama) atau bahkan bertentangan, keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu menegaskan makna dan hakekat nilai kemanusiaan dan kehidupan manusia”.[20] demikian Ahmad Mufli Sulaiman.
Dalam perspektif Smith hubungan agama dan sains sebagai konflik zero sum. Terhadap pernyataan ini, Gregory R. Peterson (dalam Huston Smith : 2003, 308-401) memberikan kritiknya terhadap sebuah tulisan, Menyoal Agama dan Sains: Tanggapan terhadap Huston Smith, ia menegaskan bahwa model hubungan yang baik antara agama dan sains, bukanlah zero sum seperti ditulis Smith, akan tetapi hubungan agama dan sains bersifat non zero sum game agar potensi keduanya dapat termanfaatkan dan akan memperkaya perpaduan keduanya.[21] Dengan kata lain bahwa meskipun wilayah agama dan ilmu masing-masing sudah saling membatasi dengan jelas, akan tetapi terdapat hubungan dan ketergantungan timbal balik yang amat kuat di antara keduanya. Meskipun agama adalah yang menentukan tujuan, tetapi dia telah belajar dalam arti yang paling luas, dari ilmu, tentang cara-cara apa yang akan menyumbang pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditetapkannya. Ilmu hanya dapat diciptakan oleh mereka yang telah ter-ilhami oleh aspirasi terhadap kebenaran dan pemahaman. Sumber perasaan ini, tumbuh dari wilayah agama. Termasuk juga disini kepercayaan akan kemungkinan bahwa pengaturan yang absah bagi dunia kemaujudan ini bersifat rasional, yaitu dapat dipahami nalar.[22] Dengan demikian, jelas bahwa ilmu merupakan penyokong dalam mencapai tujuan hidup yang direfleksikan oleh agama. Demikian sebaliknya agama memberikan tempat bagi manusia (hamba, pen) yang berilmu dihdapan Tuhan.
1. Sikap Beragama
Semua yang dilakukan dan dipikirkan manusia adalah berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang amat dirasakannya dan usaha menghindari perasaan tidak enak. Ini harus tetap diingat jika kita akan memahami gerakan-gerakan spritual dan perkembangannya. Perasaan dan keinginan adalah kekuatan pendorong segala upaya dan kreasi manusia, betapapun tersamarnya ia menampakkan diri kepada kita. Desakan-desakan sosial adalah sumber lain dari terbentuknya suatu agama. Semua makhluk dapat berbuat salah. Kebutuhan mereka akan perlindungan, kasih sayang dan dukungan mendorong manusia untuk membuat konsepsi sosial, atau moral tentang Tuhan. Agama bangsa-bangsa beradab, khususnya bangsa-bangsa Timur, pada pokoknya adalah agama moral. Perkembangan dari agama-takut ke agama-moral adalah satu langkah besar dalam kehidupan umat manusia. Namun, kita tetap harus mewaspadai prasangka bahwa agama primitif didasarkan sepenuhnya pada rasa takut, dan agama bangsa beradab sepenuhnya pada moralitas. Yang benar adalah bahwa semua agama merupakan campuran yang beragam dari kedua tipe tersebut, dengan satu perbedaan: pada tingkat kehidupan sosial yang lebih tinggi, agama moralitas lebih menonjol. Satu hal yang ada pada semua tipe ini adalah watak antropomorfis dalam konsepsi tentang Tuhan.
2. Manusia Religius
Sudah pasti, tak seorang pun akan menolak gagasan adanya suatu Tuhan personal yang mahakuasa, adil, dan maha pemurah, dapat memberi bantuan dan pembimbing manusia. Tapi, di pihak lain, ada kelemahan yang terasa amat menyakitkan sejak permulaan sejarah. Yaitu bahwa jika Wujud ini mahakuasa, maka setiap peristiwa, termasuk setiap perbuatan manusia, setiap pikiran manusia, dan setiap perasaan dan aspirasi manusia adalah juga karya-Nya; bagaimana mungkin kita berpendapat bahwa manusia bertanggung jawab atas semua perbuatannya dan pemikirannya di depan Wujud mahakuasa seperti itu? Dalam memberikan hukuman dan ganjaran, Ia akan melewati penilaian terhadap diri-Nya sendiri. Bagaimana ini dapat dikombinasikan dengan kebaikan dan kemurahan yang menjadi sifat-Nya? Sumber utama dari pertentangan masa ini antara ilmu dan agama terletak pada konsep Tuhan yang personal ini.
Orang yang yakin sepenuhnya berlakunya hukum sebab akibat secara unuversal, tak akan bisa menganut suatu gagasan tentang satu wujud yang ikut campur dalam terjadinya peristiwa-peristiwa tentunya, dengan syarat ia memperlakukan hipotesis sebab-akibat itu secara serius. Ia tidak butuh lagi agama-takut, begitu juga agama-moral. Suatu Tuhan yang memberi ganjaran dan menghukum, tidak dapat lagi dipahaminya, karena alasan sederhana bahwa segala perbuatan manusia sudah ditentukan harus dilakukan, sehingga di mata Tuhan ia tak dapat bertanggung jawab – persis sama sebagaimana halnya suatu benda mati tak bertanggung jawab atas gerakan-gerakan yang dijalaninya. Demikianlah, maka ilmu telah dituduh menghancurkan moralitas, tapi tuduhan itu tidaklah adil. Perilaku etis manusia harus didasarkan secara efektif pada simpati, pendidikan, hubungan sosial, dan kebutuhan-kebutuhan; tak diperlukan dasar agama. Manusia pasti akan menjadi miskin kalau ia harus dikekang oleh perasaan takut akan hukuman dan harapan akan ganjaran setelah mati.
III. KESIMPULAN
1. Manusia modern melihat segala sesuatu dari sudut pandang pinggiran eksistensinya, tidak pada pusat spiritualitasnya, sehingga mengakibatkan ia lupa siapa dirinya. Dengan apa yang dilakukannya saat ini, mereka mendapat pengetahuan dunia material yang secara kuantitatif sangat mengagumkan, tetapi secara kualitatif, ternyata sangat dangkal.
2. Ilmu dan agama dua hal penting bagi manusia untuk dapat menjalani hidup dengan baik dan bermartabat, baik selaku pribadi, makhluk Tuhan dan sebagai masyarakat. Ilmu dan agama memberikan tuntunan agar manusia dapat berperilaku, bermasyarakat, berbangsa, bernegara secara benar.
3. Agama dan ilmu sudah punya batasan yang jelas, akan tetapi terdapat hubungan dan ketergantungan timbal balik yang amat kuat di antara keduanya. Agama menentukan tujuan, tetapi agama belajar dari ilmu, tentang cara-cara apa yang akan menyumbang pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditetapkannya. Ilmu hanya dapat diciptakan oleh mereka yang telah teri-lhami oleh aspirasi terhadap kebenaran dan pemahaman. Sumber perasaan ini, tumbuh dari wilayah agama.

DAFTAR BACAAN

[1]Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi, Doktrin dan Peradaban Islam di Panggung Sejarah (Jakarta: Paramadina, 2003) h. 79
[2]Lihat: http//id.wikipedia.org.wiki.ilmu Ilmu juga dapat dimaknai sebagai suatu proses memperoleh pengetahuan atau pengetahuan yang terorganisasi yang diperoleh melalui proses tersebut.
[3]http//pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php.
[4]Jujun S, Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarata: Pustaka Sinar Harapan, 1999). h. 19
[5]Lihat Lexy J. Moleong, dalam Metodologi Penelitian Kualitatif, terbitan Remadja Rosdakaraya, Bandung, 2001. Bagaimana kegiatan ilmu yang antara lain dilaksanakan melalui kajian pustaka, yang di dalamnya terdapat teori yang memuat prinsif-prinsif dasar berupa rumusan-rumusan atau aturan-aturan yang berlaku umum yang berfungsi menjelaskan hakikat sesuatu gejala atau hakikat hubungan antara dua gejala atau lebih.
[6]Jujun S. of cit, 116.
[7]Alan. H. Goldman, Moral Knowledge, (Routledge, London and New York, 1990). h. 149
[8]Lihat Oxford Leaner’s Pocket Dictionary, (UK: Oxford University Press, 2005) hh. 362-363
[9]Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta: Bina Aksara, 1988) h.134
[10]Quraish Shihab, Membumikan Al Quran, (Bandung; Mizan, 1995) hh. 209-210.
[11]Asif Iqbal Khan, Agama, Filsafat, Seni dalam Pemikiran Iqbal, terjemahan Farida Arini, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Utama, 2002), hh. 15-16
[12]Jalaluddin Rahmad, Psikologi Agama sebuah Pengantar, (Bandung: Mizan, 2003) h. 28
[13]M.Ridwan dalam http://forum.detik.com/showthread. Lihat pula al Quran Surat Al Faatir ayat 28.
[14]Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Parennial, (Jakarta: Paramadina, 1995) h. 114
[15]http://yudim.blogspot.com/2008/01
[16] M. Ridwan, of cit
[17]Djuretna A. Imam Muhni, Moral dan Religi menurut Emile Durkeim dan Henri Bergson, (Yogyakarta: Kanisius, 1994) h.129
[18]Nico Syukur Dister Ofm, Pengalaman dan Motivasi Beragama, (Yogyakarta: Kanisius, 1996). h. 105
[19]http://filsafatislam.net
[20]Ahmad Mufli Saifuddin, Pengembangan Iptek Berwawasan Kemanusiaan dalam Masa Depan Kemanusiaan, ed. Said Tuhuleley dkk, (Yogyakarta: Jenddela, 2003) h.60
[21]Huston Smith, Ajal Agama di Tengah Kedigdayaan Sains penterjemah Ari Budiyanto (Bandung: Mizan,2003) h.403
[22]http://lhyling.multply.com.//joutnal/item. hh. 1-3. Tema tentang "agama dan Ilmu" pertama ditulis New York Times Magazine 9 November 1930; kemudaian pada princeton Theological Seminary, 19 Mei 1939; dan ketiga dimuat pada Science, Philosophi, and Religion: Sympisium yang diterbitkan pada 1941 oleh Comference on Scince, Philosophi, and Religion in Their Relation to The Democratic Way of Life. Diterjemahkan oleh Zainal Abidin dari Sonja Bargman (ed), Ideas and Opinions by Albert Einstein, Bonanza.