Minggu, 02 November 2008

KEBIJAKAN PENDIDIKAN DAN DESENTRALISASI

I. Pendahuluan
Tejadinya krisis multidimensi yang melanda bangsa Indonesia, belum mantapnya pelaksanaan demokrasi sesuai dengan UUD 1945, rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat, masih tertinggalnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, rendahnya produktifitas nasional serta rentannya integrasi nasional, merupakan indikasi bahwa upaya memajukan kesejahteraan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan bangsa masih jauh dari terwujud.[1] Demikian kritik Soedijarto.
Indonesia baru yang ditandai dengan lahirnya masyarakat baru (civil society), dimana rakyat tidak lagi menjadi obyek tetapi menjadi subyek kekuasaan, sehingga kekuasaan berada di tangan rakyat dan untuk rakyat. Indonesia baru yang dicita-citakan hanya dapat terwujud bila masyarakat memperoleh pendidikan yang memadai, sehingga masyarakat dapat memahami perannya dalam proses perubahan sosial secara kreatif, konstruktif, untuk mencari bentuk-bentuk sentetik baru secara tulus, damai dan mencerahkan.[2] Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa kesejahteraan rakyat seharusnya dimaknai dengan makin meningkatnya kualitas sumber daya manusia yang terdidik agar mampu meningkatkan penghasilan secara mandiri dan kreatif. Ukuran kesejahteraan rakyat, seharusnya menyertakan indikator-indikator menguatnya etika sosial, kualitas partisipasi masyarakat dalam pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya, serta komitmen moralitas keberagamaan dan kemanusiaan.
Perubahan distirbusi kewenangan bidang pendidikan dari sentralisasi ke desentralisasi merupakan peluang sekaligus tantangan bagi dunia pendidikan. Salah satunya adalah terbukanya kesempatan yang lebih luas bagi daerah untuk melakukan inovasi dan mengembangkan sistem pendidikan yang relevan dengan situasi dan kondisi serta potensi riil daerah. Desentarlisasi akan menghilangkan sistem monopoli dan membuat suatu sistem yang lebih siap menerima inovasi. Namun demikian, dibalik semua itu terdapat banyak tantangan yang harus dihadapi oleh dunia pendidikan, khususnya berkaitan dengan dukungan finansial Pemerintah Pusat serta sejumlah peraturan yang mengikatnya.
Makalah ini, akan mencoba mendiskusikan kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan terkait dengan desentralisasi. Sejauhmana kesiapan pelaksanaan otonomi pendidikan ? Bagaimana ketersediaan sumber daya manusia ? Bagaiman manajemen pendidikan dapat bekerja, sehingga mampu melihat tantangan yang ada, sebagai sebuah peluang untuk mencerdaskan anak bangsa ?

II. Kebijakan Pendidikan
Membicarakan tentang kebijakan[3] pendidikan[4], paling tidak, membicarakan dua hal, yakni pemerintah sebagai pengambil kebijakan di salah satu pihak dan masyarakat di pihak lain. Semakin sering kebijakan diambil atas dasar aspirasi masyarakat, maka akan semakin terbuka kemungkinan partsipasi yang sehat dari masyarakat untuk mewujudkan tujuan akhir dari kebijakan itu.[5] Maka pendidikan sebagai program strategis investasi jangka panjang, perlu dikelola dengan baik dan profesional, tidak asal jadi atau sekenanya. Sebagai sarana investasi jangka panjang, menurut Sri Widiyati pendidikan dituntut untuk memberikan respon yang lebih cermat terhadap perubahan yang tengah berlangsung di tengah masyarakat. Pendidikan diharapkan mampu mewujudkan manusia pembangunan yang kreatif, mandiri, inovatif, dan demokratis.[6] Harold G. Shane mengkritik pendidikan di Amerika (Indonesiapun demikian), bahwa terdapat keraguan di masyarakat tentang bagaimana sekolah bermanfaat meladeni aspirasi serta ide-ide masyarakat. Keraguan itu seharusnya tidak perlu, dan tidak boleh dipakai sebagai dalih untuk menunda reformasi mendasar terhadap realitas pendidikan yang telah terjadi selama 30 tahun lebih.[7]
Formulasi kebijakan pendidikan nasional secara umum menurut Mukhtar dkk, diletakkan pada:[8] Pertama, pemerataan dan perluasan akses. Hal ini dimaksudkan bahwa setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan, tanpa dibedakan jenis kelamin, status sosial ekonomi, agama, ras, suku dan kondisi geografis. Kedua peningkatan mutu pendidikan. Hal ini berarti bahwa mutu pendidikan diasumsikan sebagai suatu posisi yang tinggi dalam tingkatan individu, regional, nasional bahkan internasional. Konotasi kualitas pendidikan merupakan suatu penomena yang komplek. Walaupun demikian, pendidikan yang menjanjikan haruslah pendidikan yang dinilai berkualitas, dan Ketiga Peningkatan relevansi dan Efisiensi. Suatu pendidikan dikatakan efisien apabila hasil yang dicapai maksimal dengan biaya yang wajar. Secara konvensional dapat dikatakan bahwa semakin rendah biaya yang diperlukan dan semakin maksimal hasil yang dicapai, maka berarti berarti semakin tinggi tingkat efisiensi pendidikan. Dalam konteks relevansi dan efisiensi, lanjut Mukhtar masih terdapat permasalahan seperti; masih terdapat kesenjangan antara tamatan lembaga pendidikan dengan dunia kerja, antara kurikulum dengan aspirasi masyarakat. Demikian pula pengelolaan pendidikan yang sentralistik telah menyebabkan satuan pendidikan menjadi tidak kreatif, pendayagunaan program pembangunan belum optimal, serta belum mampu mendukung program pembelajaran di sekolah.
Dalam tataran implementasi dan untuk memastikan pemerataan program-program pendidikan dan menjamin kesuksesan program wajib belajar, menurut M. Sirozi, maka diperlukan kebijakan-kebijakan distributive, khususnya dalam mengalokasikan sumber daya dan fasilitas pendidikan yang tersedia. Semua masyarakat harus mendapatkan hak, kesempatan dan bantuan yang sama dalam pendidikan, baik dalam bentuk bantuan dana maupun bantuan lainnya. Lebih lanjut M. Sirozi menegaskan bahwa agar program-program pendidikan benar-benar dapat sejalan dengan paradigma pemerintahan dan pembangunan desentralisasi, maka kebijakan pendidikan pada era otonomi sebaiknya tidak bersifat incremental atau tambal sulam dari kebijakan yang telah ada, tetapi harus dilaksanakan secara rational atau benar-benar kebijakan yang didasarkan pada kajian atas situasi, peluang, tantangan dan aspirasi baru yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Pendidikan juga harus memuat visi dan misi yang jelas dan bersifat procedural yaitu menetapkan langka-langkah atau prosedur untuk mengimplementasikannya. [9] demikian M. Sirozi.

III. Desentralisasi Pendidikan
Desentralisasi menurut Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 diartikan dengan “penyerahan wewenang pemerintah oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia”[10] selanjutnya pada pasal 22 dijelaskan bahwa dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban; a). melindungi masyatrakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional serta keutuhan NKRI, b). meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, c). mengembangkan kehidupan demokrasi d). mewujudkan keadilan dan pemerataan, e). meningkatkan pelayanan dasar pendidikan, f). menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan, g). menyediaakan fasilitas sosila dan fasilitas umum yang layak, h). mengembangkan sistem jaminan sosial, i) menyusun perencanaan dan tata ruang daerah, j). mengembangkan sumber daya produktif di daerah k). melestarikan lingkungan hidup, l). mengelola administrasi kependudukan, m). melestarikan nilai social budaya, m). membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya, dan o). kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Menurut Suyanto desentralisasi pendidikan diartikan dengan “upaya mendelegasikan sebagian atau seluruh wewenang bidang pendidikan yang seharusnya dilakukan unit atau pejabat pusat kepada unit atau pejabat di bawahnya, atau dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah atau dari Pemerintah ke masyarakat”[11]
Pada bidang pendidikan, secara khusus hak dan kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah tertuang pada pasal 10 dan pasal 11 Undang-undang nomor 20 tahun 2003[12]. Pada pasal 10 dijelaskan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan pada pasal 11 dijelaskan bahwa: 1). Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga Negara tanpa diskriminasi, dan 2). Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga Negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.
Menurut Djohar, sentralisasi pendidikan telah menyebabkan pendidikan tidak mengenal lingkungan nyata dari karakteristik kehidupann masing-masing, budaya masing-masing, dan akibatnya sulit untuk menumbuhkan cinta tanah air dan bangsa, bahkan sulitnya untuk mewujudkan tumbuhnya rasa persatuan dan kesatuan. Pendidikan menjadi sangat abstrak, dan justru basis masyarakat tidak terhayati dengan baik. Untuk itu, maka desentraliasi pendidikan merupakan suatu keharusan.[13] H.A.R Tilaar menegaskan bahwa konsep otonomisasi pendidikan berarti hidupnya pendidikan di lingkungan kebudayaannya yang alami sekaligus terjadi perkembangan yang wajar dalam kebudayaan dan pendidikan, dan pendidikan yang demokrasi sebagai wadah masyarakat demokrasi benar-benar tempat kehidupan yang alamiah.[14] Untuk itu Mastuhu menilai bahwa dalam alam yang tidak demokrasi, tidak mungkin dapat mengelola pendidikan secara otonom, dan tanpa otonomi tidak mungkin dapat menyelenggarakan pendidikan yang bermutu.[15] Dengan otonomi lanjutnya, penyelenggaraan pendidikan dapat menetapkan, mencari dan mengelola dana, sumber daya manusia dan aset-asetnya sendiri serta mengadakan kerjasama dengan berbagai pihak terkait yang diperkirakan dapat memajukan pendidikan. H.A.R Tilaar menegaskan pendidikan yang otonomi harus dipertanggungjawabkan kepada orang tua, masyarakat bangsa dan Negara. Namun demikian, H.A.R Tilaar melihat bahwa desentralisasi merupakan suatu proses yang kompleks karena: Pertama, akan menciptakan suatu sistem pendidikan dengan kebijakan-kebijakan yang kongkret, Kedua, mengatur sumber daya serta pemanfaatannya. Ketiga melatih tenaga-tenaga (sumber daya manusia) yang professional, baik tenaga guru maupun tenag-tenaga manajer pada tingkat lapangan, Keempat menyusun kurikulum yang sesuai, dan Kelima mengelola sistem pendidikan yang berdasarkan kepada kebudayaan setempat.[16] Karenanya H.A.R Tilaar menegaskan tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan,[17] Pertama, pembangunan masyarakat demokrasi. Masyarakat demokrasi atau juga disebut masyarakat madani (civil society) yaitu masyarakat yang terbuka dimana setiap anggota masyarakat merupakan pribadi yang bebas dan mempunyai tanggung jawab untuk membangun masyarakatnya sendiri. Di dalam masyarakat demokratis dihormati adanya perbedaan pendapat dan kepatuhan terhadap keputusan bersama yang diambil oleh semua anggota, dituntut adanya tanggung jawab individu dan tanggung jawab sosial dari masing-masing anggotanya dalam melaksanakan keputusan itu. Kedua pengembangan social capital. Demokrasi sebagai social capital hanya akan dapat dikembangkan melalui proses pendidikan yang menghormati nilai-nilai demokrasi tersebut. Suatu proses belajar yang tidak menghargai akan kebebesan berpikir kritis tidak akan mungkin menghidupkan nilai-nilai demoktasi sebagai social capital suatu bangsa. Ketiga pengembangan daya saing. Dunia yang terbuka, dunia yang telah menjadi kampung global (global village) menuntut kemampuan daya saing dari setiap individu, setiap masyarakat bahkan setiap bangsa. Eksistensi suatu masyarakat dan bangsa hanya dapat terjamin apabila teurs-menerus memperbaiki diri dan meningkatkan kemampuannya.
Indra Djati Sidi menilai bahwa otonomi (sistem dan pengelolaan) pendidikan, tidak lain bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat. Strategi ini juga diharapkan dapat melahirkan masyarakat belajar (learning society), karena pada saat bersamaan masyarakat diseluruh jajaran pengelola dan pelaksana pendidikan untuk terus belajar.[18]
Memperhatikan pendapat tersebut, maka kebijakan desentralisasi bidang pendidikan, sangat strategis dalam upaya melibatkan masyarakat dan sekolah untuk turut serta memiliki, membenahi dan mereformasi satuan pendidikan sesuai dengan kebutuhan, tuntutan dan perkembangan zaman, dimana lembaga pendidikan itu berada.

IV. Beberapa Kebijakan Pendidikan di Era Otonomi
a. Dewan Pendidikan
Dewan Pendidikan adalah badan yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka peningkatan mutu, pemerataan dan efisiensi pengelolaan pendidikan. Dewan pendidikan bertujuan untuk mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan dan program pendidikan. Meningkatkan tanggungjawab dan peran serta aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan serta menciptakan suasana dan kondisi yang transparan, akuntabel, demokratis dalam penyelenggaraan dan layanan pendidikan yang bermutu. Karena menurut Kartini Kartono bahwa pendidikan harus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan rakyat. Dengan demikian pendidikan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai alat untuk mengekspresikan diri dan sebagai sarana untuk memecahkan kesulitan yang dihadapi.[19] Dengan demikian, tentu keberadaan Dewan Pendidikan, diharapkan memberikan kesempatan partisipasi masyarakat yang lebih luas dalam bidang pendidikan.
Dewan pendidikan berperan dalam; memberikan pertimbangan (advistory) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan, pendukung (supporting) finansial, pemikiran dan tenaga, pengontrol (controlling) dan mediator (links) antara eksekutif, legislatif dengan masyarakat. Adapun fungsi dewan pendidikan adalah 1). mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat, 2) kerjasama dengan masyarakat 3). Menampung dan menganalisa aspirasi, ide, tuntutan dan kebutuhan, 4) memberikan masukan, pertimbangan dan rekomendasi kepada Pemerintah/DPRD, 5). Mendorong partisipasi orang tua dan masyarakat, dan 6). Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan dan keluaran pendidikan.[20] Dengan peran dan fungsi yang demikian lus itu, maka dewan pendidikan merupakan mitra bagi pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugas pembangunan di bidang pendidikan. Ironisnya dewan pendidikan belum diberdayakan oleh eksekutif dalam pengambilan kebijakan, begitu pula masyarakat dan orang tua belum sepenuhnya paham akan fungsi dan tugas dewan pendidikan, ditambah lagi rekruitmen pengurus dewan pendidikan yang sarat dengan kepentingan politik (baca: koncoisme). Idealnya dewan pendidikan di isi oleh mereka yang mengerti pendidikan dan berani menyuarakan aspirasi masyarakat dan orang tua untuk kepentingan pendidikan. Dalam era otonomi menurut Shields seperti dikutif Nurkholis bahwa reformasi pendidikan harus sampai pada hubungan antara sekolah dengan keluarga dan sekolah dengan masyarakat dengan cara melibatkan secara aktif dalam kegiatan-kegiatan sekolah baik yang terkait langsung dengan kegiatan pembelajaran maupun instruksional.[21] Bila ini yang terjadi, maka dapat dipastikan tidak ada lagi program-program pendidikan yang salah sasaran, karena masyarakat ikut mengontrol pendidikan bahkan ikut terlibat dalam perencanaan dan pengawasan program-program pendidikan.

b. Manajemen Berbasis Sekolah (school based management)
Konsep Manajemen Berbasis Sekolah, - yang dalam perspektif Departemen Pendidikan Nasional disebut Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, - dilatarbelakangi oleh kesadaran akan pentingnya peningkatan mutu pendidikan. Rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenis, jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah, menuntut pengambil kebijakan pendidikan negeri ini, untuk memikirkan langkah-langkah alternatif. Salah satu upaya itu adalah Manajemen Berbasis Sekolah.
Secara umum, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah diartikan dengan model menajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orangtua siswa, dan masyarakat), guna meningkatan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.[22] Dengan otonomi yang lebih besar, maka sekolah mempunyai kewenangan yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah akan lebih mandiri. Konsep ini, lebih memberikan peluang dan kesempatan kepada warga sekolah untuk menentukan aktifitas sekolah, baik aspek perencanaan, kegiatan belajar mengajar serta aktivitas sekolah lainnya.
Myers dan Stonehill seperti dikutif Hadiyanto manajemen berbasis sekolah merupakan suatu strategi untuk memperbaiki mutu pendidikan melalui pengalihan otoritas pengambilan keputusan dari pemerintah pusat ke daerah dan ke masing-masing sekolah, sehingga kepala sekolah, guru, peserta didik dan orang tua mempunyai kontrol yang lebih besar terhadap proses pendidikan dan mempunyai tanggung jawab dalam pengambilan keputusan yang menyangkut pembiayaan, personal dan kurikulum sekolah.[23]
Manajemen Berbasis Sekolah menurut Nurkholis adalah model pengelolaan sekolah dengan memberikan kewenangan yang lebih besar pada tingkat sekolah untuk mengelola sekolah secara langsung. Kewenangan ini dimiliki karena terjadinya pergeseran kekuasaan dari pemerintah pusat atau kepada pemerintah daerah kepada sekolah dalam pengelolaan sekolah. Dengan demikian, sekolah memiliki otonomi, tanggung jawab dan patisipasi dalam menentukan program-program sekolah.[24] Kegiatan tersebut tentu diharapkan dapat meningkatkan kualitas sekolah. Indikator kualitas sekolah menurut Aan Komariah dan Cepi Triatna dapat dilihat dari kualitas siswa yang mencerminkan kepuasan pelanggan, adanya partisipasi aktif manajemen dalam peningkatan kualitas secara terus menerus, pemahaman dari setiap orang terhadap tanggung jawab yang spesifik terhadap kualitas, setiap individu dalam sekolah dan stakeholder menyadari serta merealisasikan prinsif kualitas adalah cara hidup, di lingkungan sekolah.[25]
Dengan demikian, Bedjo Sujanto melihat dampak positif pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah dalam hal: Pertama, meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia. Kedua, meningkatkan kepedulian dan kesadaran warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan/sekolah melalui pengambilan keputusan bersama. Ketiga meningkatkan tanggungjawab pendidikan kepada orang tua, masyarakat, pemerintah/sekolah dalam peningkatan mutu, dan Keempat meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah untuk membangun mutu pendidikan yang lebih baik.[26]

c. Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP)
KTSP merupakan strategi pemerintah untuk memberikan otonomi dan kebebasan kepada sekolah (guru) untuk berkreatifitas merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi program pembelajaran yang dilaksanakan di kelas. Keberhasilan pelaksanakan kebijakan tersebut sangat tergantung dari kesungguhan para guru, kepala sekolah, pengawas dan birokrasi pendidikan serta stakeholder yang terkait dengan pelaksanaan KTSP.[27] Permasalahan yang ada selama ini, kepala sekolah dan guru sudah terbiasa meminta petunjuk atasan, menunggu juklak dan juknis, sehingga kreativitas kepala sekolah dan guru menjadi terpasung dan tidak berkembang. Irosnisnya, belum lagi selesai kebijakan KBK sebagai kelanjutan CBSA, bagaimana hasilnya ? Apakah program ini tidak layak dilanjutkan ? Siapa pula yang seharusnya memberikan penilaian berhasil tidaknya program KBK ? Pertanyaan seperti ini, perlu diajukan untuk mendapatkan klarifikasi seputar pemberlakukan KTSP. Dengan menemukan jawaban yang jelas, maka diharapkan KTSP yang terkesan muncul tiba-tiba bukan merupakan produk kebijakan yang dipaksakan. Bila itu yang terjadi, maka jangan-jangan kebijakan KTSP-pun akan berakhir tragis pula, seperti halnya KBK.
Terlepas dari permasalahan yang masih tersisa pada kebijakan KTSP, terutama pada impelementasinya, pemikiran yang berorientasi pada pemberdayaan guru adalah hal penting yang perlu diapresiasi, sebagai langkah pelaksanaan otonomi sekolah.
Hardiyanto menilai, agar tercipta pembelajaran yang benar-benar sesuai dengan keinginan perbaikan kualitas pendidikan, maka perlu dilihat terlebih dahulu bagaimana pemahaman guru tentang disentralisasi manajemen pendidikan, skenario pembelajaran ke depan serta tantangan guru dalam implementasi kurikulum sekolah. Sistem disentralisasi menuntut guru menjadi fasilitator yang membelajarkan peserta didik. Sebagai subyek, peserta didik harus lebih aktif dan kreatif mengkonstruksi sendiri pikirannya tentang apa yang dipelajari.[28] Sayling Wen, dalam konteks ini, lebih mempokuskan pada bagaimana guru masa kini mempunyai kemampuan untuk membangun komunikasi yang dinamis dengan siswanya.[29] Demikian pula, Suroso memberikan definisi terhadap guru kreatif dan guru yang baik. Guru kreatif adalah guru yang memiliki sikap empati, senantiasa menjadi motivator, tempat bertanya dan berbagi duka bagi siswa. Guru yang baik adalah guru yang mempunyai sikap konsisten pada masalah moral, tanggung jawab, dan mempunyai kejujuran.[30] Demikian Suroso.
Guru merupakan key succes factor dalam keberhasilan pendidikan khususnya budi pekerti. Bahkan menurut Aubrey C. Daniel (dalam Tung, 2002) bahwa seorang pendidik harus mampu menggunakan penguatan positif agar orang-orang disekitarnya dapat bertindak dengan tingkah laku yang terbaik dalam hidupnya. Dan yang terpenting bagaimana guru memberikan teladan moral dan hati nurani untuk memupuk hati nurani pada tingkat kepekaan tinggi terhadap kebutuhan orang lain, kecintaan mendalam terhadap sesama, serta semangat membangun bangsa. Guru harus mampu mendidik dan mengajarkan ilmu yang tidak terlepas dari ketajaman ilmu[31]. Dalam pandangan Tung, yang paling mendasar untuk ditransper dan diimplementasikan bukan hanya kemampuan akademik berupa penguasaan sains tetapi juga budi pekerti, moral dan etika, yang dimanipestasikan dalam bentuk ketegasan dan kasih sayang, memimpin anak dengan ketulusan hati nurani serta keteladanan. Sikap inilah yang menjadi symbol budi pekerti yang bahasa agama lebih dikenal dengan akhlakul karimah. Oleh karena itu, maka dalam hal mengajarkan akhlak menurut Husni Rahim tidak hanya sekedar menyuruh menghapal nilai-nilai normatif akhlak secara kognitif, yang diberikan dalam bentuk ceramah dan diakhiri dengan ulangan. Akhlak harus diajarkan sebagai perangkat sistem yang satu dengan lainnya saling terkait dan mendukung yang mencakup guru agama, guru mata pelajaran, pimpinan sekolah, kurikulum, metoda bahkan orang tua dan pimpinan/tokoh masyarakat dan pimpinan formal. Akhlak tidak akan tumbuh tanpa diajarkan dan dibiasakan[32]. Otonomi sekolah harus dimaknai sebagai suatu peluang sekaligus tantangan bagi guru untuk bersifat kreatif, dan inovatif untuk mewujudkan mutu pendidikan.

V. Kesimpulan
1. Era otonomi memberikan peluang sekaligus tantangan dalam penyelenggaraan pembangunan bidang pendidikan. Pembangunan bidang pendidikan berperan dalam mewujudkan Indonesia baru yang dicita-citakan banyak, dimana rakyat tidak lagi menjadi obyek tetapi menjadi subyek kekuasaan, sehingga kekuasaan berada di tangan rakyat dan untuk rakyat.
2. Masyarakat madani hanya dapat terwujud bila masyarakat memperoleh pendidikan yang memadai. Dengan memaknai pendidikan sebagai suatu peradaban, masyarakat dapat memahami perannya dalam proses perubahan sosial secara kreatif, konstruktif, untuk mencari bentuk-bentuk sintetik baru secara tulus, damai dan mencerahkan, yang ditandai dengan makin meningkatnya kualitas sumber daya manusia.
3. Sentralisasi pendidikan telah menyebabkan pendidikan tercabut dari akar budaya yang menaunginya. Pendidikan tidak mengenal lingkungan nyata dari karakteristik kehidupan, budaya, dan akibatnya sulit untuk menumbuhkan cinta tanah air dan bangsa. Desentraliasi pendidikan menempatkan kembali pendidikan di lingkungan kebudayaannya yang alami dan berpeluang mewujudkan masyarakat yang demokrasi yang didambakan. Pendidikan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai alat untuk mengekspresikan diri dan sebagai sarana untuk memecahkan kesulitan yang dihadapi.
4. Dewan Pendidikan, MBS dan KTSP merupakan kebijakan yang dilaksanakan pemerintah, dalam rangka mewujudkan otonomi pendidikan. Kebijakan ini memerlukan dukungan masyarakat, kepala sekolah, guru, siswa dan stakeholder pendidikan lainnya, untuk meningkatkan kualitas pendidikan.


Bacaan :

[1]Soedijarto, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, (Jakarta:Kompas, 2008), h. 290.
[2] Musa Asy’arie, Keluar dari Krisis Multi Dimensi, (Yogyakarta, Lesfi, 2001), h. 53
[3]Kebijakan berasal dari kata Policy (Bahasa Inggris) Lihat Kamus Oxford Learner’s Pocket Dictionary, third edition, kata policy diartikan dengan: (1). plan or action agreed or chosen by a political party, a bussines etc, (2). written insurance contract. h. 331
[4]Pendidikan mentrnasfer nilai (values), pengetahuan (knowledge) dan ketrampilan (skill) seni termasuk di dalamnya. Lihat A. Qodry A. Azizy, Pendidikan (Agama) untuk Masa Depan Etika Sosial: Mendidik Anak Sukses Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003) h. 19. HAR Tilaar menilai pendidikan dalam arti luas berperan dalam membentuk identitas nasional. Lihat HAR Tilaar, Men-Indonesia: Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia, Tinjuan dari Perspektif Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007) hh. 156-168.
[5]Hadi Supeno, Pendidikan dalam Belenggu Kekuasaan, (Magelang: Pustaka Paramedia: 1999) h. 3
[6]Sri Widayati dkk, Reformasi Pendidikan Dasar: Menyiapkan Pribadi Berkualitas Menghadapi Persaingan Global (Jakarta: Gramdeia, 2002). h. 81
[7]Harold G. Shane, Arti Pendidikan bagi Masa Depan, terjemah M. Ansyar (Jakarta: Raja Grafindo Persada) h.77. Lihat Buchori, Mochtar, Pendidikan Antisipatoris, Yogyakarta: Kanisius, 2001. h. 164. Malik Fajar (waktu itu Mendiknas) mengatakan “setidaknya 5 tahun belakangan pendidikan Indonesia penuh dengan dinamika setelah hampir 30 tahun tertidur” (Kompas, 1 Mei 2004) h. 11
[8]Mukhtar, Samsu dan Rusmini, Pendidikan Anak Bangsa: Pendidikan Untuk Semua, (Jakarta: Nimasmultima: 2002), hh.178 – 188. Kebijakan Depdiknas 1). Pemerataan dan Perluasan Akses 2). Peningkatan Mutu Relevansi dan Daya Saing 3). Penguatan Tata Kelola, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik. (Laporan Depdiknas Tahun 2007)

[9]Muhammad Sirozi, Agenda Srategis Pendidikan Islam, (Yogyakarta: AK Group, 2004) h. 35. Lihat pula Muhammad Sirozi, Kebijakan Pendidikan di Era Otonomi Daerah (dalam Conciencia: Jurnal Pendidikan Islam, Nomor 1 Volume II, Juni 2002), hh. 30-51.
[10]Lihat Undang-undang Otonomi Daerah Tahun 2008 (Jakarta:Deka Mandiri, 2008) h. 4
[11]Suyanto, Dialog Interaktif tentang Pendidikan: Dari Konseptual Menggelitik Sampai yang Ringan dan Ringan Sekali (Jakarta: Multi Presindo, 2008) h. 80
[12]Lihat Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Depdiknas, 2003). h. 7
[13]Djohar, Pendidikan Strategik Altenatif untuk Pendidikan Masa Depan, (Yogyakarta: Lespi, 2003), hh. 87-88.
[14]H.A.R Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan, Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural, (Magelang, Indonesiatera, 2003) h. 184.
[15]Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional Abad 21, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004) h. 86.
[16]H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta:Rineka Cipta, 2000) hh. 88-89
[17]H.A.R. Tilaar, Membenahi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002) hh. 21-23.
[18]Indra Djati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar: Menggagas Paradigma Baru Pendidikan (Jakarta: Paramadina dan Logos, 2001) h. 30
[19]Kartini Kartono, Tinjauan Holistik Tujuan Pendidikan Nasional, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1997), h.115
[20]Bedjo Sujanto, of cit. hh 57-61.
[21]Nurkholis, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model dan Aflikasi, (Jakarta: Gramedia, 2003). h. 125
[22]Departemen Pendidikan Nasional, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Buku 1 Konsep dan Pelaksanaan (Jakarta: Dirjen Dikdasmen, 2001). h. 3 lihat Nursisto, Peningkatan Prestasi Sekolah Menengah, (Yogyakarta: Insan Cendikia, 2002) hh. 138-150.
[23]Hadiyanto, Mencari Sosok Desentralisasi Manajemen Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004) h. 67
[24]Nurkholis, of cit, h. 11
[25]Aan Komariah dan Cepi Triatna, Visionary Leadershif Menuju Sekolah Efektif, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005) h. 8
[26]Bedjo Sujanto, Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah, Model Pengelolaan Sekolah di Era Otonomi Daerah (Jakarta: Sagung Seto, 2007), h. 31
[27]Bedjo Sujanto, Guru Indonesia dan Perubahan Kurikulum: Mengorek Kegelisahan Guru (Jakarta: Sagung Seto, 2007),hh. 112-113.
[28]Hadiyanto, of cit, hh. 138 -139.
[29]Sayling Wen, Future of Education, alih bahasa Arvin Saputra, (Batam: Lucky Publisher, 2003) h. 116
[30]Suroso, In Momeriam Guru: Membangkitkan Ruh-Ruh Pencerdasan, (Yogyakarta: Jendela, 2002), h.180
[31]Khoe Yao Tung, Simponi Sedih Pendidikan Nasional, (Jakarta: Abdi Tandur, 2002), h. 69
[32]Husni Rahim, Arah baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 2001) h. 41

Tidak ada komentar: